BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peradilan agama
adalah sebutan resmi bagi salah satu diantara empat lingkungan Peradilan Negara
atau kekuasaan kehakiman di Indonesia. Peradilan agama merupakan peradilan
khusus karena peradilan agama hanya mengadili perkara-perkara tertentu atau
golongan rakyat tertentu. Dalam hal ini, peradilan agama hanya berwenang
dibidang perdata tertentu saja, namun tidak mencangkup seluruh perdata islam [1].
Sejak
berdirinya Bank Syariah di Indonesia yang dimulai pada tahun 1992, pemerintah
kemudian membuat suatu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
perbankan syariah. Kini, perbankan syariah diatur dalam UU No. 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Didalam
undang-undang tersebut terlihat bahwa di Indonesia terdapat dua sistem
perbankan. Sistem itu antara lain adalah sistem konvensional yang menggunakan
sistem bunga dan sistem syariah yang didasarkan pada ketentuan Hukum Islam.
Kegiatan
usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Syariah diatur dalam Pasal 36 Peraturan
Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004. Dalam undang-undang itu diatur secara rinci
landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioprasikan dan
diimplementasikan oleh Bank Syariah. Undang-undang itu juga memberi arahan bagi
bank-bank konvensional atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank
syariah. Atas peluang itu, berkembanglah bank-bank yang mendasarkan
oprasionalnya pada sistem Danamon, Bank Mega, Bank OKI, BPD Jabar, Bank IFI,
bahkan pada saat ini telah ada Bank asing yang membuka cabang syariah, yaitu
Bank HSBC.
Lembaga
keuangan nonbank pun sekarang ini sudah cukup banyak yang menggunakan sistem
syariah antara lain asuransi, pegadaian, obligasi, pasar modal dan reksadana
syariah[2].Oleh
karenanya, dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah yang ada di Indonesia
maka, kemungkinan untuk terjadi suatu perselisihan antara lembaga keuangan
dengan nasabahnya akan semakin besar.
Untuk
itu maka, perlu adanya suatu penyelesaian perselisihan dalam hal ini terutama
penyelesaian sengketa alternatif sengketa dalam lembaga keuangan syariah yang
akan memberikan penyelesaian secara adil dan cepat yang timbul dalam berbagai
bidang seperti bidang keuangan, jasa, perdagangan, indrustri maupun bidang
lainnya yang didasarkan pada utamanya yakni ajaran Al-Qur’an.
Keberadaan
Lembaga Arbitrase sebagai salah satu bentuk alternatif penyelesaian hukum, juga
dimasukkan ke dalam upaya hukum alternatif penyelesaian sengketa yang
diharapkan mampu menjadi solusi terbaik dalam menjembatani para pihak yang
bersengketa melalui cara musyawarah sekaligus obyektivitas yang tidak memihak
salah satu pihak. Upaya untuk memenuhi harapan tersebut, maka MUI (Majelis
Ulama Indonesia) membentuk sebuah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
yang merupakan cikal bakal adanya Basyarnas.
Oleh karena hal
tersebut, dengan bertitik tolak dari latar belakang yang telah diuraikan diatas
maka, penulis kemudian mengangkat permasalahan tersebut dalam karya tulis ini
yang berjudul : “ARBITRASE SYARIAH SEBAGAI ALTERNATIF
PENYELESAIAN SENGKETA PADA LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH DI INDONESIA”
[1]
Dr. Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama , Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada, 2013,hlm. 6
[2] Dr. Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah,
Jakarta : Sinar Grafika, 2009, hlm. 74
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Apakah yang dimaksud dengan
arbitrase syariah?
Sebelum mengetahui apa yang dimaksud
dengan arbitrase syariah, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui apa yang
dimaksud dengan arbitrase secara umum. Didalam literatur sejarah hukum Islam,
arbitrase identik dengan istilah tahkim
. Tahkim sendiri adalah bahasa arab
yang merupakan mashdar dari kata
kerja hakkama yang secara etimologis,
kata tersebut berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa.
Sedangkan, menurut Salam Madzukur tahkim adalah
pengangkatan seorang ataupun lebih sebagai seorang wasit atau juru damai oleh
dua orang atau lebih yang bersengketa, guna menyelesaikan perkara yang mereka
perselisihkan secara damai.
Kata arbitrase sendiri berasal dari
bahasa arbitrare (Latin), arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), arbitrage (Prancis), yang berarti
kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh
wasit atau arbiter. Sedangkan pengertian arbitrase secara umum di Indonesia
menurut para ahli hukum adalah sebagai berikut :
Menurut Mertokusumo, arbitrase adalah
suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan
para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang
wasit atau arbiter. Arbiter adalah orang-orang yang memiliki keahlian (expertise).
Abdulkadir Muhammad, mengatakan bahwa
arbitrase adalah badan peradilan swasta di luar lingkungan peradilan umum, yang
dikenal dengan khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang
dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang
bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan Negara merupakan kehendak
bebas pihak-pihak. Kehendak bebas ini dapat dituangkan dalam perjanjian
tertulis yang mereka buat sebelum atau sesudah terjadi sengketa sesuai dengan
asas kebebasan berkontrak dalam hukum perusahaan[3].
Adapun pengertian arbitrase didalam
undang-undang disebutkan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa[4].
Dari beberapa pengertian tersebut maka,
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud arbitrase secara umum adalah suatu
prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para
pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang
wasit atau arbiter. Dimana hasil dari keputusan tersebut dituangkan dalam
perjanjian tertulis yang mereka telah sepakati.
Sedangkan yang dimaksud dengan arbitrase
syariah adalah suatu mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan
berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan
sengketa yang ditempuh melalui lembaga arbitrase syariah dalam hal sengketa
tersebut merupakan sengketa yang berhubungan dengan sengketa bisnis syariah
yang bersifat perdata secara umum. Putusan arbitrase syariah sama dengan
putusan arbitrase pada umumnya yakni bersifat final serta mengikat para pihak
tanpa ada kemungkinan upaya banding dan kasasi terhadap putusan arbitrase
syariah tersebut.
Jadi definisi antara arbitrase dengan
arbitrase syariah hampir sama yakni suatu mekanisme penyelesaian sengketa diluar
pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan untuk
menyerahkan sengketa tersebut pada arbiter. Bedanya adalah, jika sengketa
lembaga keuangan syariah diselesaikan di Badan Arbitrase Syariah (Bayarnas).
Maka sengketa lembaga keuangan biasa atau sengketa perdata secara umum diselesaikan
oleh Badan Arbitrase Nasional (BANI).
Dengan adanya perjanjian arbitrase yang
timbul dari adanya kesepakatan secara tertulis dari para pihak untuk
menyerahkan penyelesaian suatu sengketa atau perselisihan lembaga keuangan
syariah kepada Bayarnas maka itu berarti bahwa, meniadakan hak para pihak untuk
mengajukan penyelesaian sengketa ke Pengadilan Agama. Selanjutnya, Pengadilan
Agama wajib menolak dan tidak ikut campur tangan dalam menyelesaikan sengketa
yang sudah ditetapkan melalui arbitrase.
Agar arbitrase syariah di Indonesia
berjalan efektif sebagai mana mestinya, maka dalam penerapannya diperlukan
suatu pedoman agar memenuhi kreteria sebagai mana diharapkan oleh para pihak.
Pedoman tersebut antara lain[5] :
1. Para
arbiter yang ditugaskan untuk menangani suatu sengketa seyogianya mempertemukan
kepentingan para pihak secara proporsional, berimbang, dan tidak merugikan
maupun menguntungkan hanya salah satu pihak saja. Dengan kata lain para arbiter
mengupayakan untuk menegakan keadilan yang hakiki sesuai dengan ajaran
Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
2. Nilai-nilai
keadilan yang tercermin dalam pancasila harus dijadikan sebagai satu acuan
pokok didalam menyelesaikan sengketa melalui arbitrase syariah.
3. Baik
arbitrase nasional (BANI) maupun arbitrase syariah (Bayarnas) yang dikenal di
Indonesia ditinjau daru sudut tata hukum Indonesia mempunyai kedudukan yang
sama dalam arti kedua lembaga itu harus diakui oleh Pemerintah Republik
Indonesia.
2.2 Apakah
yang menjadi landasan hukum dan tujuan dari adanya arbitrase syariah?
Badan
Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) adalah sebuah wadah alternatif diluar
pengadilan (non-litigasi) di dalam penyelesaian sengketa atau perkara di
perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya. Keberadaan Basyarnas
saat ini sangat dibutuhkan oleh umat Islam Indonesia, terlebih dengan semakin
marak dan berkemabangnya perusahaan perbankan dan keuangan syariah di
Indonesia.
Adapun yang menjadi dasar arbitrase syariah
yakni adalah :
1. Pasal 1338 KUHP, Sistem Hukum Terbuka
Dalam
Pasal 1338 KUHP menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat sesuai dengan
undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali selain dari pada kesepakatan
antara kedua belah pihak atau karena hal lain yang telah ditentukan oleh
undang-undang.
Berdasarkan
penjelasan pasal diatas maka seluruh ahli hukum sepakat untuk menyimpulkan
bahwa dalam hal hukum perjanjian, hukum positif yang berlaku di Indonesia
menganut sistem terbuka yang berarti setiap orang bebas untuk membuat
perjanjian asalkan perjanjian tersebut dibuat sesuai dengan undang-undang dan
tidak melanggar ketertiban umum, norma dan kesusilaan. Selain itu, para pihak
juga bebas untuk meyelesaikan perselisihan yang terjadi.
2. Pasal 16 dan Pasal 3 ayat (2) UU No. 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Dalam Pasal 16 UU Kekuasaan Kehakiman
menyatakan hal-hal sebagai berikut ini :
(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa
dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada
atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
(2) Ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup
kemungkinan untuk melakukan usaha penyelesaian perkara perdata secara
perdamaian.
Berdasarkan
ketentuan dalam Pasal 16 ayat (2) diatas, jelas bahwa keberadaan lembaga yang
bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan yang mungkin terjadi diantara pihak
yang membuat perjanjian diakui secara sah oleh Negara. Dalam praktiknya lembaga
yang dimaksud adalah badan arbitrase.
Dalam Pasal 3 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman
menyebutkan bahwa :
(1) Semua peradilan di seluruh wilayah negara
Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-undang.
(2) Peradilan negara menerapkan dan menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
Hal
tersebut berarti tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara diluar
peradilan Negara melalui perdamaian atau arbitrase dalam konteks hukum Islam
tentunya adalah arbitrase syariah.
Pada
masa penjajahan Belanda dahulu bahkan bagi mereka yang tunduk pada Hukum
Perdata Barat, telah diadakan ketentuan-ketentuan khusus tentang arbitrase ini
sebagaimana yang termuat pada Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglement op de Rechtvordering atau RV,
yakni Reglemen Acara Perdata yang
berlaku di Raad van Justitie atau Badan Peradilan bagi Golongan Eropa (Staatsblad 1874 No. 52 jo. 1849 No. 63).
3.
Pactum de compromittendo
Berdasarkan
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 615 RV, penetapan, penunjukan, atau
pengangkatan wasit dapat dilakukan oleh para pihak yang sedang berselisih atau
bersengketa. Namun, penunjukan tersebut dapat pula ditetapkan didalam
perjanjian yang menyatakan bahwa apabila dikemudian hari ternyata terjadi
sebuah sengketa atau perselisihan antara kedua belah pihak, maka kedua belah
pihak tersebut telah menetapkan wasit yang diminta untuk menyelesaikan sengketa
yang telah terjadi.
Dengan
demikian, dalam hal yang tersebut terakhir ini, para pihak telah sepakat untuk
menetapkan seseorang atau suatu badan guna menjadi wasit dalam menyelesaikan
sengketa yang mungkin akan terjadi suatu hari nanti. Didalam prakteknya maupun
didalam ilmu hukum, cara pertama tersebut dinamakan akta kompromi sedangkan
cara kedua disebut pactum de
compromittendo[6].
Selain itu, dasar hukum yang memperkuat
eksistensi tahkim atau arbitrase Islam atau arbitrase syariah terdapat di dalam
Al-qur’an, sunnah dan ijma yakni :
4. Dasar yang keempat adalah Al-qur’an surat
An-Nissa ayat 35.
Al-qur’an
dan sunnah merupakan sumber hukum yang paling utama dalam memberikan petunjuk
kepada umat manusia apabila terjadi sengketa diantara para pihak baik dalam
bidang politik, keluarga ataupun bisnis. Hal ini seperti yang temuat dalam yang
Al-qur’an surat An-Nissa ayat 35 berbunyi:
وإن خفتم شقاق بينهما فبعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها إن يريدا إصلا حا يوفق بينهما إن
الله كان عليما خبيرا
Yang
berarti: “Dan jika kamu khawatir persengketaan antara keduanya, maka kirimlah
seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. Jika keduanya bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi
taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal[7].
Ayat di
atas menjelaskan bahwa apabila ada dua pihak terjadi persengketaan, maka
hendaknya diantara kedua belah pihak yang bersengketa menunjuk seorang juru
damai yang bijaksana untuk menyelesaikan persengketaan keduanya dengan baik.
Oleh karean itu, fungsi utama hakam di sini adalah mendamaikan dan berhak
menetapkan hukum sesuai dengan kemaslahatan, baik disetujui oleh pasangan yang
bertikai maupun tidak. Dengan demikian, melihat tafsir ayat di atas, maka
sangat memungkinkan dan relevan untuk dijadikan dasar terkait dengan pembahasan
arbitrase syariah yang sedang berkembang dewasa ini.
5. Selanjutnya, adapun yang menjadi dasar
arbitrase syariah adalah anjuran al-Qur’an tentang perlunya perdamaian yaitu, QS.
al-Hujarat ayat 9 yang berbunyi:
وإن طائفتان
من المؤمنين اقتتلوا فأصلحوا بينهما فإن بغت إحدهما على الأخرى فقا تلوا التى
تبغي حتى تفيء إلى أمر الله فإن فاءت فأصلحوا بينهما با لعدل وأقسطوا إن الله يحب المقسطين
Artinya:
“Dan jika ada dua kelompok dari orang-orang mukmin bertikai maka damaikanlah
antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya terhadap yang
lain, maka tindaklah kelompok yang berbuat aniaya itu sehingga ia kembali
kepada perintah Allah. Jika ia telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya
dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil.”
Ayat di
atas menjelaskan tentang perselisihan antara kaum muslimin yang antara lain
disebabkan oleh adanya isu yang tidak jelas kebenarannya. Jika perselihan
tersebut terjadi, maka harus didamaikan dengan cara yang adil. Adapun kata
ashlihu pada ayat di atas, diambil dari kata ashlaha yang asalnya shaluha.
Dalam kamus-kamus bahasa, kata ini dimaknai dengan antonim dari kata fasada
yakni rusak. Ia diartikan juga dengan manfaat. Dengan demikian, shuluha berarti
tiadanya atau terhentinya kerusakan atau diraihnya manfaat, sedangkan ishlah
adalah upaya menghentikan kerusakan atau meningkatkan kualitas sesuatu sehingga
manfaatnya lebih banyak lagi.
Berdasarkan
landasan hukum diatas, untuk memperbolehkan adanya arbitrase syariah baik yang
bersumber dari Al-qur’an, sunnah maupun ijma, bila ditelaah dengan seksama pada
prinsipnya berisi anjuran untuk menyelesaikan perselisihan dengan jalan damai.
Jalan damai adalah cara yang paling utama menurut ajaran Islam. Namun, bila
jalan damai telah ditempuh dan tidak berhasil untuk menemukan jalan keluarnya
maka bisa meminta kepada pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketa diantara
mereka (hakam)[8] .
2.3 Bagaimakah
prosedur penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah?
Hal-hal
yang berkaitan dengan prosedur dan proses penyelesaian sengketa lembaga
keuangan syariah melalui bayarnas harus didasarkan pada UU No. 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Peraturan Prosedur Bayarnas. Adapun ketentuan-ketentuan
umum yang terkait prosedur penyelesaian sengeketa UU No. 30 Tahun 1999 adalah
sebagai berikut :
1. Pemeriksaan sengketa harus diajukan secara
tertulis. Namun, dapat juga diajukan secara lisan apabila disetujui oleh para
pihak dan dianggap perlu oleh arbiter atau Majelis Arbiter.
2. Arbiter atau Majelis Arbiter terlebih dahulu
mengusahakan perdamaian antara para pihak yang bersengketa.
3. Pemeriksaan sengketa diselesaikan dalam jangka
waktu paling lama 180 hari sejak arbiter atau Majelis Arbiter terbentuk. Namun,
dapat diperpanjang dengan persetujuan para pihak.
4. Putusan arbitrase harus memuat keputusan yang
berbunyi “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Nama singkat
sengketa, uraian singkat sengketa, identitas para pihak, nama lengkap dan
alamat arbiter dan pertimbangan serta kesimpulan arbiter atau Majelis Arbiter
mengenai keseluruhan sengketa, pendapat masing-masing arbiter atau majelis
arbiter.
5. Dalam putusan ditetapkan suatu jangka waktu
putusan tersebut harus dilaksanakan.
6. Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai
maka, pemeriksaan harus ditutup dan ditetapkan hari sidang untuk mengucapkan
putusan arbitrase dan diucapkan dalam waktu paling lama 30 hari setelah
pemeriksaan ditutup.
7. Dalam waktu 14 hari setelah putusan diterima
maka para pihak dapat mengajukan permohonan kepada arbiter atau Majelis Arbiter
untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan administrative dan atau menambah
dan mengurangi suatu tuntutan putusan.
Ketentuan-ketentuan
diatas dimaksudkan untuk menjaga agar jangan sampai penyelesaian sengketa
melalui arbitrase syariah menjadi berlarut-larut. Basyarnas sebagai
lembaga arbritase syariah satu-satunya di Indonesia yang berwenang memeriksa
dan memutus sengketa antara pihak-pihak yang melakukan akad dalam ekonomi
syariah, dianggap efektif karena memiliki kekuatan penyelesaian sengketa yang
dianggap lebih menguntungkan oleh para pihak yang bersengketa. Sebagai suatu
alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan, tentunya arbitrase syariah
memiliki kekuatan dan kelemahannya yang harus diterima para pihak yang sudah
memilih jalan penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah. Kelemahan dan
kekuatan tersebut adalah :
Kekuatan
penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah adalah sebagai berikut[9] :
1. Cepat
dan hemat biaya.
Proses
berarcara di Pengadilan Agama terlalu memakan waktu, karena litigasi yang
berjalan normal saja bisa membutuhkan waktu antara enam bulan sampai dengan
satu tahun untuk mencapai putusan pengadilan. Belum lagi jika diajukan banding
terhadap putusan tersebut, maka keseluruhan proses berarcaranya dari tingkat
pertama sampai dengan Mahkamah Agung bisa mencapai tahunan sebelum putusannya final dan binding. Sedangkan dalam arbitrase syariah, jangka waktunya telah
ditentukan terlebih dahulu. Karena tidak adanya kemungkinan untuk kasasi
tehadap putusan arbitrase syariah maka, arbitrase syariah lebih murah dari
litigasi.
2. Merupakan
pilihan arbiter.
Didalam
arbitrase syariah para pihak mempunyai kebebasan untuk memilih orang-orang yang
dianggap mengetahui, mengerti dan memahami masalah yang disengketakan sebagai
arbiter. Sehingga, akan ada jaminan terhadap keputusan yang diambil baik secara
komprehensif dan kompromistis akan membuat para pihak menjadi puas.
3. Kerahasiaan
terjamin.
Didalam
arbitrase syariah, proses acaranya dilakukan secara tertutup, tidak terbuka
untuk umum, sehingga para pihak dapat merasa aman bahwa penyelesaian sengketa
mereka tidak akan diketahui oleh public. Para pihak dapat memilih jenis
arbitrase yang mereka inginkan.
4. Bersifat
non preseden.
Pada
sistem hukum yang prinsip preseden
mempunyai pengaruh penting dalam pengambilan keputusan, maka keputusan
arbitrase umumnya tidak memiliki nilai atau sifat preseden. Oleh karena itu, untuk perkara yang serupa, mungkin saja
dihasilkan keputusan arbitrase yang berbeda.
5. Kepekaan
arbiter.
Kepekaan
atau kearifan arbiter terhadap perangkat aturan yang akan diterapkan oleh
arbiter pada perkara-perkara yang akan ditanda tanganinya.
6. Kepercayaan
dan keamanan.
Arbitrase
syariah menarik bagi para pedagang dan investor sebab, arbitrase memberikan
kebebasan dan otonomi yang sangat luas juga secara relative memberikan rasa
aman terhadap keadaan tidak menentu dan ketidakpastian sehubung dengan sistem
hukum yang berbeda.
Kelemahan
penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah adalah sebagai berikut[10]
1. Pada
praktiknya, sering kali putusan dari arbitrase syariah tidak dapat langsung
dieksekusi melainkan, harus meminta eksekusi dari pengadilan.
2. Kemudian,
pengadilan juga kerap memeriksa kembali kasus yang ditangani oleh arbiter.
Sehingga, akan terjadi dua kali proses pemeriksaan sengketa. Padahal, hal
tersebut sebenarnya tidak boleh dan tidak perlu untuk dilakukan mengingat
putusan yang dikeluarkan arbiter bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum
tetep yang akan mengikat para pihak[11].
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Arbitrase
syariah adalah suatu mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan
berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan
sengketa yang ditempuh melalui lembaga arbitrase syariah dalam hal sengketa
tersebut merupakan sengketa yang berhubungan dengan sengketa bisnis syariah
yang bersifat perdata secara umum. Putusan arbitrase syariah sama dengan
putusan arbitrase pada umumnya yakni bersifat final serta mengikat para pihak
tanpa ada kemungkinan upaya banding dan kasasi terhadap putusan arbitrase
syariah tersebut.
Definisi antara arbitrase dengan arbitrase
syariah hampir sama bedanya adalah, jika sengketa lembaga keuangan syariah
diselesaikan di Badan Arbitrase Syariah (Bayarnas) maka, sengketa lembaga keuangan biasa atau sengketa
perdata secara umum diselesaikan oleh Badan Arbitrase Nasional (BANI). Selain
dari definisi yang hampir serupa, kesamaan antara arbitrase dan arbitrase
syariah juga terlihat dari dasar hukum. Hanya saja, dalam arbitrase syariah
dasar hukumnya ditambah dengan sumber dari Al-qur’an, Sunnah dan ijma.
Adapun yang menjadi dasar arbitrase syariah
yakni adalah :
1. Pasal 1338 KUHP, Sistem Hukum Terbuka.
2. Pasal 16 dan Pasal 3 ayat (2) UU No. 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
3. Pactum
de compromittend.
4. Al-qur’an surat An-Nissa ayat 35.
5. Al-Qur’an tentang perlunya perdamaian yaitu,
QS. al-Hujarat ayat 9.
Pada
dasarnya, mengapa sengketa yang menyangkut lembaga keuangan syariah harus diselesaikan
oleh Bayarnas bukan dengan BANI padahal antara keduanya mempunyai banyak
persamaan alasannya adalah karena dalam sengketa yang menyangkut bisnis
syariah, maka lembaga tersebut tentu saja harus memiliki mediator yang
mempunyai latar belakang pengetahuan syariah dibidang muamalat yang tentu saja
akan memudahkan dan mempercepat dalam penyelesaian sengketa bisnis syariah
tersebut.
Basyarnas sebagai lembaga arbritase
syariah satu-satunya di Indonesia yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa
antara pihak-pihak yang melakukan akad dalam ekonomi syariah, dianggap efektif
karena memiliki kekuatan penyelesaian sengketa yang dianggap lebih
menguntungkan oleh para pihak yang bersengketa. Sebagai suatu alternatif
penyelesaian sengketa diluar pengadilan, tentunya arbitrase syariah memiliki
kekuatan dan kelemahannya yang harus diterima para pihak yang sudah memilih
jalan penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah.
Beberapa kekuatan dan kelemahan yang didapat
melalui penyelesaian sengketa oleh Bayarnas adalah sebagai berikut :
1. Kekuatan penyelesaian sengketa melalui
arbitrase syariah
a. Cepat
dan hemat biaya.
b. Pilihan
arbiter.
c. Kerahasiaan
terjamin.
d. Bersifat
non-preseden.
e. Kepekaan
arbiter.
f. Kepercayaan
dan keamanan.
2. Kelemahan penyelesaian sengketa melalui arbitrase
syariah
a. Putusan
tidak langsung dapat dieksekusi.
b. Pengadilan
kerap memeriksa kembali kasus yang ditangani arbiter.
3.2 Saran
Berdasarkan uraian dan
kesimpulan diatas, maka saran yang dapat penulis sampaikan adalah sebagai
berikut :
1. Meskipun
sudah banyak perkara lembaga keuangnya syariah yang mendapatkan penyelesaian
dengan cara arbitrasi syariah namun,
sayangnya sampai sekarang ini belum ada hukum materiil yang khusus
mengatur mengenai arbitrase syariah yang dapat dijadikan patokan para arbiter
dalam menyelesaikan perkara.
2. Diharapkan
para arbiter pada arbitrase syariah merupakan SDM yang memang sudah ahli dalam
permasalahan syariah dan juga mereka sudah mendapatkan pelatihan dan pendidikan
khusus sebelumnya. Selain itu, akhlaknya haruslah sesuai sebagai seorang
Muslim, karena dikawatirkan oknum yang mengatasnamakan Islam namun ternyata
tidak menjalankan prinsip sebagai seorang Muslim.
[3] Abdulkadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993, hal:276
[4] Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No.30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase
[5] Dr. Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan
Agama dan Mahkamah Syariah, Jakarta : Sinar Grafika, 2009, hlm.70
[6] Muhammad Syafi’ri Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik,
Jakarta : Gema Insani, 2001, hlm. 214-216
[7]
M. Quraish Shihab, “Tafsir
Al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keselarasan Al-Qur’an”, Jakarta: Lintera Hati,
2002, jilid 2, hlm. 433 (Dikutip dari sebuah skripsi yang berjudul Penyelesaian Sengketa Asuransi Syariah
menurut Perspektf Bayarnas dan BMAI. Diunggah pada http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7276/1/Fitriyah-FSH_NoRestriction.pdf.)
[8] Mariam Darus Badrulzaman, “Peran Bayarnas
dalam Pembangunan Hukum Nasional” dalam buku Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta : Fajar Interpratama
Offset, hlm.286
[9]ibid, hlm. 276
[10]
Ibid, hlm. 277
[11] Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.