Rabu, 15 April 2015

ARBITRASE SYARIAH SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang
Peradilan agama adalah sebutan resmi bagi salah satu diantara empat lingkungan Peradilan Negara atau kekuasaan kehakiman di Indonesia. Peradilan agama merupakan peradilan khusus karena peradilan agama hanya mengadili perkara-perkara tertentu atau golongan rakyat tertentu. Dalam hal ini, peradilan agama hanya berwenang dibidang perdata tertentu saja, namun tidak mencangkup seluruh perdata islam [1].
Sejak berdirinya Bank Syariah di Indonesia yang dimulai pada tahun 1992, pemerintah kemudian membuat suatu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perbankan syariah. Kini, perbankan syariah diatur dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Didalam undang-undang tersebut terlihat bahwa di Indonesia terdapat dua sistem perbankan. Sistem itu antara lain adalah sistem konvensional yang menggunakan sistem bunga dan sistem syariah yang didasarkan pada ketentuan Hukum Islam.
Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Syariah diatur dalam Pasal 36 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004. Dalam undang-undang itu diatur secara rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioprasikan dan diimplementasikan oleh Bank Syariah. Undang-undang itu juga memberi arahan bagi bank-bank konvensional atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah. Atas peluang itu, berkembanglah bank-bank yang mendasarkan oprasionalnya pada sistem Danamon, Bank Mega, Bank OKI, BPD Jabar, Bank IFI, bahkan pada saat ini telah ada Bank asing yang membuka cabang syariah, yaitu Bank HSBC.
Lembaga keuangan nonbank pun sekarang ini sudah cukup banyak yang menggunakan sistem syariah antara lain asuransi, pegadaian, obligasi, pasar modal dan reksadana syariah[2].Oleh karenanya, dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah yang ada di Indonesia maka, kemungkinan untuk terjadi suatu perselisihan antara lembaga keuangan dengan nasabahnya akan semakin besar.
Untuk itu maka, perlu adanya suatu penyelesaian perselisihan dalam hal ini terutama penyelesaian sengketa alternatif sengketa dalam lembaga keuangan syariah yang akan memberikan penyelesaian secara adil dan cepat yang timbul dalam berbagai bidang seperti bidang keuangan, jasa, perdagangan, indrustri maupun bidang lainnya yang didasarkan pada utamanya yakni ajaran Al-Qur’an.
Keberadaan Lembaga Arbitrase sebagai salah satu bentuk alternatif penyelesaian hukum, juga dimasukkan ke dalam upaya hukum alternatif penyelesaian sengketa yang diharapkan mampu menjadi solusi terbaik dalam menjembatani para pihak yang bersengketa melalui cara musyawarah sekaligus obyektivitas yang tidak memihak salah satu pihak. Upaya untuk memenuhi harapan tersebut, maka MUI (Majelis Ulama Indonesia) membentuk sebuah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang merupakan cikal bakal adanya Basyarnas.
Oleh karena hal tersebut, dengan bertitik tolak dari latar belakang yang telah diuraikan diatas maka, penulis kemudian mengangkat permasalahan tersebut dalam karya tulis ini yang berjudul         : “ARBITRASE SYARIAH SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PADA LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH DI INDONESIA



[1] Dr. Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama , Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2013,hlm. 6
[2] Dr. Mardani, Hukum Acara  Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah, Jakarta : Sinar Grafika, 2009, hlm. 74


BAB II
PEMBAHASAN


2.1  Apakah yang dimaksud dengan arbitrase syariah?
Sebelum mengetahui apa yang dimaksud dengan arbitrase syariah, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan arbitrase secara umum. Didalam literatur sejarah hukum Islam, arbitrase identik dengan istilah tahkim . Tahkim sendiri adalah bahasa arab yang merupakan mashdar dari kata kerja hakkama yang secara etimologis, kata tersebut berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa. Sedangkan, menurut Salam Madzukur tahkim adalah pengangkatan seorang ataupun lebih sebagai seorang wasit atau juru damai oleh dua orang atau lebih yang bersengketa, guna menyelesaikan perkara yang mereka perselisihkan secara damai. 
Kata arbitrase sendiri berasal dari bahasa arbitrare (Latin), arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), arbitrage (Prancis), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh wasit atau arbiter. Sedangkan pengertian arbitrase secara umum di Indonesia menurut para ahli hukum adalah sebagai berikut :
Menurut Mertokusumo, arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang wasit atau arbiter. Arbiter adalah orang-orang yang memiliki keahlian (expertise).
Abdulkadir Muhammad, mengatakan bahwa arbitrase adalah badan peradilan swasta di luar lingkungan peradilan umum, yang dikenal dengan khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan Negara merupakan kehendak bebas pihak-pihak. Kehendak bebas ini dapat dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum atau sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perusahaan[3].
Adapun pengertian arbitrase didalam undang-undang disebutkan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa[4].
Dari beberapa pengertian tersebut maka, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud arbitrase secara umum adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang wasit atau arbiter. Dimana hasil dari keputusan tersebut dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka telah sepakati.
Sedangkan yang dimaksud dengan arbitrase syariah adalah suatu mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa yang ditempuh melalui lembaga arbitrase syariah dalam hal sengketa tersebut merupakan sengketa yang berhubungan dengan sengketa bisnis syariah yang bersifat perdata secara umum. Putusan arbitrase syariah sama dengan putusan arbitrase pada umumnya yakni bersifat final serta mengikat para pihak tanpa ada kemungkinan upaya banding dan kasasi terhadap putusan arbitrase syariah tersebut.
Jadi definisi antara arbitrase dengan arbitrase syariah hampir sama yakni suatu mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa tersebut pada arbiter. Bedanya adalah, jika sengketa lembaga keuangan syariah diselesaikan di Badan Arbitrase Syariah (Bayarnas). Maka sengketa lembaga keuangan biasa atau sengketa perdata secara umum diselesaikan oleh Badan Arbitrase Nasional (BANI).
Dengan adanya perjanjian arbitrase yang timbul dari adanya kesepakatan secara tertulis dari para pihak untuk menyerahkan penyelesaian suatu sengketa atau perselisihan lembaga keuangan syariah kepada Bayarnas maka itu berarti bahwa, meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa ke Pengadilan Agama. Selanjutnya, Pengadilan Agama wajib menolak dan tidak ikut campur tangan dalam menyelesaikan sengketa yang sudah ditetapkan melalui arbitrase.
Agar arbitrase syariah di Indonesia berjalan efektif sebagai mana mestinya, maka dalam penerapannya diperlukan suatu pedoman agar memenuhi kreteria sebagai mana diharapkan oleh para pihak. Pedoman tersebut antara lain[5] :
1.      Para arbiter yang ditugaskan untuk menangani suatu sengketa seyogianya mempertemukan kepentingan para pihak secara proporsional, berimbang, dan tidak merugikan maupun menguntungkan hanya salah satu pihak saja. Dengan kata lain para arbiter mengupayakan untuk menegakan keadilan yang hakiki sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
2.      Nilai-nilai keadilan yang tercermin dalam pancasila harus dijadikan sebagai satu acuan pokok didalam menyelesaikan sengketa melalui arbitrase syariah.
3.      Baik arbitrase nasional (BANI) maupun arbitrase syariah (Bayarnas) yang dikenal di Indonesia ditinjau daru sudut tata hukum Indonesia mempunyai kedudukan yang sama dalam arti kedua lembaga itu harus diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia.

2.2  Apakah yang menjadi landasan hukum dan tujuan dari adanya arbitrase syariah?
Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) adalah sebuah wadah alternatif diluar pengadilan (non-litigasi) di dalam penyelesaian sengketa atau perkara di perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya. Keberadaan Basyarnas saat ini sangat dibutuhkan oleh umat Islam Indonesia, terlebih dengan semakin marak dan berkemabangnya perusahaan perbankan dan keuangan syariah di Indonesia.
Adapun yang menjadi dasar arbitrase syariah yakni adalah :
1.      Pasal 1338 KUHP, Sistem Hukum Terbuka
Dalam Pasal 1338 KUHP menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali selain dari pada kesepakatan antara kedua belah pihak atau karena hal lain yang telah ditentukan oleh undang-undang.
Berdasarkan penjelasan pasal diatas maka seluruh ahli hukum sepakat untuk menyimpulkan bahwa dalam hal hukum perjanjian, hukum positif yang berlaku di Indonesia menganut sistem terbuka yang berarti setiap orang bebas untuk membuat perjanjian asalkan perjanjian tersebut dibuat sesuai dengan undang-undang dan tidak melanggar ketertiban umum, norma dan kesusilaan. Selain itu, para pihak juga bebas untuk meyelesaikan perselisihan yang terjadi.
2.      Pasal 16 dan Pasal 3 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Dalam Pasal 16 UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan hal-hal sebagai berikut ini :
(1)   Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
(2)   Ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk melakukan usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (2) diatas, jelas bahwa keberadaan lembaga yang bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan yang mungkin terjadi diantara pihak yang membuat perjanjian diakui secara sah oleh Negara. Dalam praktiknya lembaga yang dimaksud adalah badan arbitrase.

Dalam Pasal 3 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa :
(1)   Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-undang.
(2)   Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.

Hal tersebut berarti tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara diluar peradilan Negara melalui perdamaian atau arbitrase dalam konteks hukum Islam tentunya adalah arbitrase syariah.
Pada masa penjajahan Belanda dahulu bahkan bagi mereka yang tunduk pada Hukum Perdata Barat, telah diadakan ketentuan-ketentuan khusus tentang arbitrase ini sebagaimana yang termuat pada Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglement op de Rechtvordering atau RV, yakni Reglemen Acara Perdata yang berlaku di Raad van Justitie atau Badan Peradilan bagi Golongan Eropa (Staatsblad 1874 No. 52 jo. 1849 No. 63).
3.      Pactum de compromittendo
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 615 RV, penetapan, penunjukan, atau pengangkatan wasit dapat dilakukan oleh para pihak yang sedang berselisih atau bersengketa. Namun, penunjukan tersebut dapat pula ditetapkan didalam perjanjian yang menyatakan bahwa apabila dikemudian hari ternyata terjadi sebuah sengketa atau perselisihan antara kedua belah pihak, maka kedua belah pihak tersebut telah menetapkan wasit yang diminta untuk menyelesaikan sengketa yang telah terjadi.
Dengan demikian, dalam hal yang tersebut terakhir ini, para pihak telah sepakat untuk menetapkan seseorang atau suatu badan guna menjadi wasit dalam menyelesaikan sengketa yang mungkin akan terjadi suatu hari nanti. Didalam prakteknya maupun didalam ilmu hukum, cara pertama tersebut dinamakan akta kompromi sedangkan cara kedua disebut pactum de compromittendo[6].

Selain itu, dasar hukum yang memperkuat eksistensi tahkim atau arbitrase Islam atau arbitrase syariah terdapat di dalam Al-qur’an, sunnah dan ijma yakni :

4.      Dasar yang keempat adalah Al-qur’an surat An-Nissa ayat 35.
Al-qur’an dan sunnah merupakan sumber hukum yang paling utama dalam memberikan petunjuk kepada umat manusia apabila terjadi sengketa diantara para pihak baik dalam bidang politik, keluarga ataupun bisnis. Hal ini seperti yang temuat dalam yang Al-qur’an surat An-Nissa ayat 35 berbunyi:
وإن خفتم شقاق بينهما فبعثوا حكما من أهله  وحكما من أهلها إن يريدا إصلا حا يوفق بينهما إن الله كان عليما خبيرا
Yang berarti: “Dan jika kamu khawatir persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika keduanya bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal[7].
Ayat di atas menjelaskan bahwa apabila ada dua pihak terjadi persengketaan, maka hendaknya diantara kedua belah pihak yang bersengketa menunjuk seorang juru damai yang bijaksana untuk menyelesaikan persengketaan keduanya dengan baik. Oleh karean itu, fungsi utama hakam di sini adalah mendamaikan dan berhak menetapkan hukum sesuai dengan kemaslahatan, baik disetujui oleh pasangan yang bertikai maupun tidak. Dengan demikian, melihat tafsir ayat di atas, maka sangat memungkinkan dan relevan untuk dijadikan dasar terkait dengan pembahasan arbitrase syariah yang sedang berkembang dewasa ini.
5.      Selanjutnya, adapun yang menjadi dasar arbitrase syariah adalah anjuran al-Qur’an tentang perlunya perdamaian yaitu, QS. al-Hujarat ayat 9 yang berbunyi:
وإن طائفتان  من المؤمنين اقتتلوا فأصلحوا بينهما فإن بغت إحدهما على الأخرى فقا تلوا التى تبغي حتى تفيء إلى أمر الله فإن فاءت فأصلحوا بينهما با لعدل وأقسطوا إن الله يحب المقسطين
Artinya: “Dan jika ada dua kelompok dari orang-orang mukmin bertikai maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya terhadap yang lain, maka tindaklah kelompok yang berbuat aniaya itu sehingga ia kembali kepada perintah Allah. Jika ia telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Ayat di atas menjelaskan tentang perselisihan antara kaum muslimin yang antara lain disebabkan oleh adanya isu yang tidak jelas kebenarannya. Jika perselihan tersebut terjadi, maka harus didamaikan dengan cara yang adil. Adapun kata ashlihu pada ayat di atas, diambil dari kata ashlaha yang asalnya shaluha. Dalam kamus-kamus bahasa, kata ini dimaknai dengan antonim dari kata fasada yakni rusak. Ia diartikan juga dengan manfaat. Dengan demikian, shuluha berarti tiadanya atau terhentinya kerusakan atau diraihnya manfaat, sedangkan ishlah adalah upaya menghentikan kerusakan atau meningkatkan kualitas sesuatu sehingga manfaatnya lebih banyak lagi.
Berdasarkan landasan hukum diatas, untuk memperbolehkan adanya arbitrase syariah baik yang bersumber dari Al-qur’an, sunnah maupun ijma, bila ditelaah dengan seksama pada prinsipnya berisi anjuran untuk menyelesaikan perselisihan dengan jalan damai. Jalan damai adalah cara yang paling utama menurut ajaran Islam. Namun, bila jalan damai telah ditempuh dan tidak berhasil untuk menemukan jalan keluarnya maka bisa meminta kepada pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketa diantara mereka (hakam)[8] .

2.3  Bagaimakah prosedur penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah?
Hal-hal yang berkaitan dengan prosedur dan proses penyelesaian sengketa lembaga keuangan syariah melalui bayarnas harus didasarkan pada UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Peraturan Prosedur Bayarnas. Adapun ketentuan-ketentuan umum yang terkait prosedur penyelesaian sengeketa UU No. 30 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :
1.      Pemeriksaan sengketa harus diajukan secara tertulis. Namun, dapat juga diajukan secara lisan apabila disetujui oleh para pihak dan dianggap perlu oleh arbiter atau Majelis Arbiter.
2.      Arbiter atau Majelis Arbiter terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara para pihak yang bersengketa.
3.      Pemeriksaan sengketa diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 180 hari sejak arbiter atau Majelis Arbiter terbentuk. Namun, dapat diperpanjang dengan persetujuan para pihak.
4.      Putusan arbitrase harus memuat keputusan yang berbunyi “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Nama singkat sengketa, uraian singkat sengketa, identitas para pihak, nama lengkap dan alamat arbiter dan pertimbangan serta kesimpulan arbiter atau Majelis Arbiter mengenai keseluruhan sengketa, pendapat masing-masing arbiter atau majelis arbiter.
5.      Dalam putusan ditetapkan suatu jangka waktu putusan tersebut harus dilaksanakan.
6.      Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai maka, pemeriksaan harus ditutup dan ditetapkan hari sidang untuk mengucapkan putusan arbitrase dan diucapkan dalam waktu paling lama 30 hari setelah pemeriksaan ditutup.
7.      Dalam waktu 14 hari setelah putusan diterima maka para pihak dapat mengajukan permohonan kepada arbiter atau Majelis Arbiter untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan administrative dan atau menambah dan mengurangi suatu tuntutan putusan.

Ketentuan-ketentuan diatas dimaksudkan untuk menjaga agar jangan sampai penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah menjadi berlarut-larut.  Basyarnas sebagai lembaga arbritase syariah satu-satunya di Indonesia yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa antara pihak-pihak yang melakukan akad dalam ekonomi syariah, dianggap efektif karena memiliki kekuatan penyelesaian sengketa yang dianggap lebih menguntungkan oleh para pihak yang bersengketa. Sebagai suatu alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan, tentunya arbitrase syariah memiliki kekuatan dan kelemahannya yang harus diterima para pihak yang sudah memilih jalan penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah. Kelemahan dan kekuatan tersebut adalah :
Kekuatan penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah adalah sebagai berikut[9] :
1.      Cepat dan hemat biaya.
Proses berarcara di Pengadilan Agama terlalu memakan waktu, karena litigasi yang berjalan normal saja bisa membutuhkan waktu antara enam bulan sampai dengan satu tahun untuk mencapai putusan pengadilan. Belum lagi jika diajukan banding terhadap putusan tersebut, maka keseluruhan proses berarcaranya dari tingkat pertama sampai dengan Mahkamah Agung bisa mencapai tahunan sebelum putusannya final dan binding. Sedangkan dalam arbitrase syariah, jangka waktunya telah ditentukan terlebih dahulu. Karena tidak adanya kemungkinan untuk kasasi tehadap putusan arbitrase syariah maka, arbitrase syariah lebih murah dari litigasi.
2.      Merupakan pilihan arbiter.
Didalam arbitrase syariah para pihak mempunyai kebebasan untuk memilih orang-orang yang dianggap mengetahui, mengerti dan memahami masalah yang disengketakan sebagai arbiter. Sehingga, akan ada jaminan terhadap keputusan yang diambil baik secara komprehensif dan kompromistis akan membuat para pihak menjadi puas.
3.      Kerahasiaan terjamin.
Didalam arbitrase syariah, proses acaranya dilakukan secara tertutup, tidak terbuka untuk umum, sehingga para pihak dapat merasa aman bahwa penyelesaian sengketa mereka tidak akan diketahui oleh public. Para pihak dapat memilih jenis arbitrase yang mereka inginkan.
4.      Bersifat non preseden.
Pada sistem hukum yang prinsip preseden mempunyai pengaruh penting dalam pengambilan keputusan, maka keputusan arbitrase umumnya tidak memiliki nilai atau sifat preseden. Oleh karena itu, untuk perkara yang serupa, mungkin saja dihasilkan keputusan arbitrase yang berbeda.
5.      Kepekaan arbiter.
Kepekaan atau kearifan arbiter terhadap perangkat aturan yang akan diterapkan oleh arbiter pada perkara-perkara yang akan ditanda tanganinya.
6.      Kepercayaan dan keamanan.
Arbitrase syariah menarik bagi para pedagang dan investor sebab, arbitrase memberikan kebebasan dan otonomi yang sangat luas juga secara relative memberikan rasa aman terhadap keadaan tidak menentu dan ketidakpastian sehubung dengan sistem hukum yang berbeda.
Kelemahan penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah adalah sebagai berikut[10]
1.      Pada praktiknya, sering kali putusan dari arbitrase syariah tidak dapat langsung dieksekusi melainkan, harus meminta eksekusi dari pengadilan.
2.      Kemudian, pengadilan juga kerap memeriksa kembali kasus yang ditangani oleh arbiter. Sehingga, akan terjadi dua kali proses pemeriksaan sengketa. Padahal, hal tersebut sebenarnya tidak boleh dan tidak perlu untuk dilakukan mengingat putusan yang dikeluarkan arbiter bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetep yang akan mengikat para pihak[11].

BAB III
PENUTUP


3.1.Kesimpulan
Arbitrase syariah adalah suatu mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa yang ditempuh melalui lembaga arbitrase syariah dalam hal sengketa tersebut merupakan sengketa yang berhubungan dengan sengketa bisnis syariah yang bersifat perdata secara umum. Putusan arbitrase syariah sama dengan putusan arbitrase pada umumnya yakni bersifat final serta mengikat para pihak tanpa ada kemungkinan upaya banding dan kasasi terhadap putusan arbitrase syariah tersebut.
 Definisi antara arbitrase dengan arbitrase syariah hampir sama bedanya adalah, jika sengketa lembaga keuangan syariah diselesaikan di Badan Arbitrase Syariah (Bayarnas) maka,  sengketa lembaga keuangan biasa atau sengketa perdata secara umum diselesaikan oleh Badan Arbitrase Nasional (BANI). Selain dari definisi yang hampir serupa, kesamaan antara arbitrase dan arbitrase syariah juga terlihat dari dasar hukum. Hanya saja, dalam arbitrase syariah dasar hukumnya ditambah dengan sumber dari Al-qur’an, Sunnah dan ijma.
Adapun yang menjadi dasar arbitrase syariah yakni adalah :
1.      Pasal 1338 KUHP, Sistem Hukum Terbuka.
2.      Pasal 16 dan Pasal 3 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
3.      Pactum de compromittend.
4.      Al-qur’an surat An-Nissa ayat 35.
5.      Al-Qur’an tentang perlunya perdamaian yaitu, QS. al-Hujarat ayat 9.
Pada dasarnya, mengapa sengketa yang menyangkut lembaga keuangan syariah harus diselesaikan oleh Bayarnas bukan dengan BANI padahal antara keduanya mempunyai banyak persamaan alasannya adalah karena dalam sengketa yang menyangkut bisnis syariah, maka lembaga tersebut tentu saja harus memiliki mediator yang mempunyai latar belakang pengetahuan syariah dibidang muamalat yang tentu saja akan memudahkan dan mempercepat dalam penyelesaian sengketa bisnis syariah tersebut.


Basyarnas sebagai lembaga arbritase syariah satu-satunya di Indonesia yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa antara pihak-pihak yang melakukan akad dalam ekonomi syariah, dianggap efektif karena memiliki kekuatan penyelesaian sengketa yang dianggap lebih menguntungkan oleh para pihak yang bersengketa. Sebagai suatu alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan, tentunya arbitrase syariah memiliki kekuatan dan kelemahannya yang harus diterima para pihak yang sudah memilih jalan penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah.
Beberapa kekuatan dan kelemahan yang didapat melalui penyelesaian sengketa oleh Bayarnas adalah sebagai berikut :
1.      Kekuatan penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah
a.       Cepat dan hemat biaya.
b.      Pilihan arbiter.
c.       Kerahasiaan terjamin.
d.      Bersifat non-preseden.
e.       Kepekaan arbiter.
f.       Kepercayaan dan keamanan.
2.      Kelemahan penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah
a.       Putusan tidak langsung dapat dieksekusi.
b.      Pengadilan kerap memeriksa kembali kasus yang ditangani arbiter.


3.2  Saran
Berdasarkan uraian dan kesimpulan diatas, maka saran yang dapat penulis sampaikan adalah sebagai berikut :
1.      Meskipun sudah banyak perkara lembaga keuangnya syariah yang mendapatkan penyelesaian dengan cara arbitrasi syariah namun,  sayangnya sampai sekarang ini belum ada hukum materiil yang khusus mengatur mengenai arbitrase syariah yang dapat dijadikan patokan para arbiter dalam menyelesaikan perkara.
2.      Diharapkan para arbiter pada arbitrase syariah merupakan SDM yang memang sudah ahli dalam permasalahan syariah dan juga mereka sudah mendapatkan pelatihan dan pendidikan khusus sebelumnya. Selain itu, akhlaknya haruslah sesuai sebagai seorang Muslim, karena dikawatirkan oknum yang mengatasnamakan Islam namun ternyata tidak menjalankan prinsip sebagai seorang Muslim.






[3] Abdulkadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993, hal:276
[4] Pasal 1 ayat (1)  Undang-undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase
[5] Dr. Mardani, Hukum Acara  Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah, Jakarta : Sinar Grafika, 2009, hlm.70
[6] Muhammad Syafi’ri Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta : Gema Insani, 2001, hlm. 214-216
[7]  M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keselarasan Al-Qur’an”, Jakarta: Lintera Hati, 2002, jilid 2, hlm. 433 (Dikutip dari sebuah skripsi yang berjudul Penyelesaian Sengketa Asuransi Syariah menurut Perspektf Bayarnas dan BMAI. Diunggah pada http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7276/1/Fitriyah-FSH_NoRestriction.pdf.)
[8] Mariam Darus Badrulzaman, “Peran Bayarnas dalam Pembangunan Hukum Nasional” dalam buku Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta : Fajar Interpratama Offset, hlm.286
[9]ibid, hlm. 276
[10] Ibid, hlm. 277
[11] Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.