Minggu, 16 November 2014

Pembaharuan Hukum Pidana tentang Politik Hukum Pidana

Disscussion task
Fungsi primer dari hukum pidana adalah menanggulangi kejahatan,sedangkan fungsi sekundernya adalah menjaga agar penguasa khususnya para penegak hukum dalam menanggulangi kejahatan tersebut agar sesuai dengan apa yang digariskan oleh hukum pidana itu. Dalam menanggulangi kejahatan hukum pidana merupakan bagian dari politik criminal (Criminal Policy). Negara Indonesia dalam melakukan politik hukumnya berlandaskan dasar filsafat Negara. Dalam masyarakat modern apalagi dengan adanya crime trend (perkembangan/kecendrungan kejahatan), maka pembetukan atau pembaharuan UU sangat penting dilakukan agar penguasa secara aktif ikut campur dalam berbagai segi kehidupan masyarakat. Perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hokum pidana adalah perbuatan yang dianggap oleh masyarakat sebagai peruatan tercela,sesuai dengan nilai-nilai dan budaya masyarakat Indonesia, oleh sebab itu dalam Pembaharuan Hukum pidana kriminalisasi maupun diskriminasi sebagai bagian dari penal policy sangat perlu dicermati secara mendalam.

Pertanyaan :
1.      Apakah yang dimaksud dengan politik hukum pidana?
Jawab        :
Politik hukum pidana mencakup tindakkan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai tersebut didalam kenyataan. Politik hukum pidana merupakan pemilihan terhadap nilai-nilai untuk mencegah terjadinya delikuensi dan kejahatan.
-       Menurut Sudarto, pengertian politik hukum dalam kebijakan hukum pidana adalah: Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang menetapkan peraturan yang dikehendaki dan diperkirakan bisa digunakan untuk mengekpresikan apa yang terkandung dalam cita-cita masyarakat.
-       M. Arief Amrullah mengatakan Penal Policy atau politik (kebijakan) hukum pidana, pada intinya bagaiamana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat Undang-Undang (kebijakan Legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif), dan pelaksanaan hukum pidana (kebijakan eksekutif).
-       IS. Heru Permana mengatakan bahwa Politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari penegakan hukum (law enforcement policy)

2.      Jelaskan hubungan antara Pembaharuan Hukum Pidana dengan Politik Hukum Pidana
Jawab        :
Pembaharuan hukum pidana merupakan suatu upaya melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio,sosio politik,sosio filosofik dan sosio cultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan social,kebijakan criminal dan kebijakan penegakan hukum Indonesia.

Alasan pentingnya dilakukan Pembaharuan terhadap Hukum Pidana adalah
1.      Alasan Politis
Yakni suatu kebanggaan nasional sebagai bangsa yang merdeka mampu memiliki aturan hukumnya sendiri.
2.      Alasan Sosiologis
Kita tau bahwa KUHP yang kita pergunakan saat ini adalah hukum peninggalan Belanda yang pada saat itu menjajah Indonesia. Karena adanya kekosongan hukum setelah Indonesia merdeka,maka Indonesia mempergunakan wetboek van strafrecht sebagai hukum pidana di Indonesia.
Karena hal tersebut KUHP yang kita pergunakan saat ini adalah hukum yang jauh dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law) yakni hukum adat dan hukum agama. Hal itu berarti KUHP tidak sesuai dengan budaya dan kepribadian bangsa Indonesia.
3.      Alasan Praktis
KUHP yang dipergunakan saat ini merupakan terjemahan para ahli Indonesia yang antara terjemahan para ahli yang satu dengan yang lainnya memiliki perbedaan sehingga sangat susah menafsirkan isi dari wetboek van strafrecht itu sendiri.
4.      Alasan Integratif
Menyesuaikan dengan perkembangan dunia,karena seiring dengan pekembangan zaman dan globalisasi ini ternyata juga diiringi dengan perkembangan kejahatan. Dimana kejahatan-kejahatan tersebut tidak diatur dalam KUHP sehingga pengaturannya diluar KUHP. Misalnya, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana penipuan dengan internet dll.

-       Jadi dengan adanya Politik Hukum Pidana, diharapkan dalam pembaharuan hukum pidana yang dilakukan oleh Negara melalui badan-badan yang berwenang menetapkan peraturan yang dikehendaki yakni badan legislative, diharuskan agar Pembaharuan hukum pidana tersebut agar dapat mengekpresikan apa yang terkandung dalam cita-cita, budaya dan kepribadian masyarakat Indonesia. Baik dalam pembaharuan substansi hukumnya, struktur hukum pidananya dan pembaharuan budaya hukum pidana.

3.      Jelaskan yang dimaksud kreteria kriminalisasi dan depenalisasi dan jelaskan kriminalisasi dengan depanalisasi yang merupakan bagian dari politik hukum pidana (penal policy)
Jawab        :
Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Kriminalisasi muncul ketika kita dihadapkan pada suatu perbuatan yang merugikan orang lain atau masyarakat yang hukumnya belum ada atau belum ditemukan.

Menurut Prof. Soedarto ada 4 syarat yang harus diperhatikan didalam melakukan kriminalisasi :
1.      Tujuan kriminalisasi adalah menciptakan ketertiban masyarakat didalam rangka menciptakan Negara kesejahteraan (welfare state).
2.      Perbuatan yang dikriminalisasi harus perbuatan yang menimbulkan kerusakan meluas dan menimbulkan korban.
3.      Harus mempertimbangkan faktor biaya dan hasil, berarti biaya yang dikeluarkan dan hasil yang diperoleh harus seimbang.
4.      Harus memperhatikan kemampuan aparat penegak hukum. Jangan sampai aparat penegak hukum melampaui bebannya atau melampaui batas.

Depenalisasi adalah sanksi yang bersifat pidana dihilangkan, sebetulnya perbuatannya masih tetap bersifat melawan hukum, tetapi sanksi diganti dengan sanksi perdata atau administrasi. Jadi dalam hal ini sanksi pidana bersifat ultimum remedium.

Kriminalisasi dengan depanalisasi yang merupakan bagian dari politik hukum pidana (penal policy) artinya adalah apa bila nantinya ternyata terjadi suatu perbuatan melawan hukum,dimana perbuatan tersebut telah merugikan orang lain dan membuat resah masyarakat namun, ketentuannya belum ada. Maka, hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik oleh pembuat Undang-Undang yakni para legislatif.


adversary model dan non adversary model dalam Sistem Peradilan Pidana

1.      Apa itu adversary model dan non adversary model?
Jawab        :
Dinegara-negara yang menganut Common Law System, sistem peradilan pidana mengandung dua model yaitu      :
a.       Adversary model dalam sistem peradilan pidana menganut prinsip sebagai berikut:
1.      Prosedur peradilan pidana harus merupakan suatu “sengketa” (dispute) antara kedua belah pihak (tertuduh dan penuntut umum) dalam kedudukan (secara teoritis) yang sama dimuka pengadilan.
2.      Tujuan utama “prosedur” sebagaimana yang dimaksud pada butir 1 diatas adalah menyelesaikan sengketa (dispute) yang timbul disebabkan timbulnya kejahatan.
3.      Penggunaan cara pengajuan sanggahan atau pernyataan (pleadings) dan adanya lembaga jaminan dan perundingan bukan hanya suatu keharusan,melainkan merupakan suatu hal yang penting.
4.      Para pihak atau kontestan memiliki fungsi yang otonom dan jelas,peranan penuntut umum ialah melakukan penuntutan,peranan tertuduh ialah menolak atau menyanggah tuduhan. PU bertujuan menetapkan fakta mana saja yang akan dibuktikan disertai bukti yang menunjang fakta tersebut. Tertuduh bertugas menentukan fakta-fakta mana saja yang akan diajukan dipersidangan yang akan menguntungkan kedudukannya dengan menyampaikan bukti-bukti lain sebagai penunjang fakta dimaksud.
Jadi, dalam adversary model peranan hakim dalam “sengketa” (dispute) adalah mengamati para pihak sebagai wasit yang tidak memihak. Hakim akan berperan aktif apabila ada salah satu pihak yang mengajukan keberatan atas argumentasi atau cara yang digunakan pihak lain dalam menunjang fakta yang diajukan dimuka siding. Setelah proses persidangan selesai, hakim diharapkan dapat mementukan putusannya.
Kebenaran dalam adversary model hanya dapat diperoleh dengan memberikan kesempatan yang sama kepada masing-masing pihak (tertuduh dan penuntut umum) untuk mengajukan argumentasi disertai bukti penunjangnya.
Sistem pembuktian berdasarkan adversary model sesungguhnya ditujukan untuk mengurangi kemungkinan dituntutnya seseorang yang nyata-nyata tidak bersalah. Selain itu juga,lebih membatasi ruang gerak aparat penegak hukum tertutama pihak kepolisian bahkan, termasuk hakim pengadilan masih dibatasi oleh ketentuan

b.      Sedangkan “non-adversary model” menganut prinsip bahwa:
1.      Proses pemeriksaan harus bersifat lebih formal dan berkesinambungan serta dilaksanakan atas dasar praduga bahwa kejahatan telah dilakukan (presumption of guilt).
2.      Tujuan utamanya adalah menetapkan apakah dalam kenyataannya perbuatan tersebut merupakan perkara pidana, dan apakah penjatuhan hukuman dapat dibenarkan karenanya.
3.      Penelitan terhadap fakta yang diajukan oleh para pihak (penuntut umum dan tertuduh) oleh hakim dapat berlaku tidak terbatas dan tidak bergantung panda atau tidak perlu memperoleh izin para pihak.
4.      Kedudukan masing-masing pihak-penuntut umum dan tertuduh-tidak lagi otonom dan sederajat.
5.      Semua sumber informasi yang dapat dipercaya dapat dipergunakan guna kepentingan pemeriksaan pendahuluan ataupun di persidangan. Tertuduh merupakan obyek utama dalam pemeriksaan.
Kebenaran dalam non adversary model hanya dapat diperoleh melalui suatu penyelidikan oleh pihak pengadilan yang tidak memihak.
Dalam non adversary model,sistem pembuktian lebih cenderung ditujukan untuk mencapai kebebasan (material) dari suatu perkara pidana. Peranan hakim yang aktif dalam menilai kebenaran atas fakta yang diajukan dimuka persidangan,dapat dikatakan merupakan cara mencapai tujuan sebagaimana dimaksudkan diatas.

Persamaan sistem ini adalah,dapat dinilai dari pandangan yang sama tentang nilai kebenaran suatu proses penyelesaian perkara pidana.
Sumber: (Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Romli Atmasasmita hal.42-47)

2.      Bandingkan sistem peradilan pidana di Indonesia!
Sistem peradilan pidana di Indonesia menganut sistem campuran antara adversary model dan non adversary model. .
Dalam adversary model dapat tercermin dalam ketentuan           :
a.       Pasal 13 KUHAP
Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
b.      Pasal 65 KUHAP
Tersangka atau terdakwa berhak mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.

c.       Asas Presumption of Innocence
Setiap orang yang disangka,ditangkap,ditahan,dituntut dan atau dihadapkan dimuka siding pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan.
d.      Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1)
Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

Dalam non adversary model dapat tercermin dalam ketentuan    :
a.       Pasal 66 KUHAP
Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.
b.      Asas Inkisitor
Tersangka dipandang sebagai objek pemeriksaan.
c.       Asas pemeriksaan yang langsung dan lisan
Pemeriksaan disidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung baik kepada terdakwa maupun kepada sanksi.


mekanisme kewenangan MK dalam menguji UU terhadap UUD dan syarat dan tata cara pengajuan judicial review ke MK

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Bagaimanakah mekanisme kewenangan MK dalam menguji UU terhadap UUD?
Terdapat tiga macam norma hukum yang dapat diuji, yang biasa disebut dengan mekanisme control norma. Ketiganya merupakan hasil dari proses pengambilan keputusan hukum.
1.      Keputusan normative yang berisi atau bersifat pengaturan (regeling).
2.      Keputusan normative yang berisi atau bersifat penetapan administrative (bescikking).
3.      Keputusan normative yang berisi atau bersifat penghakiman (vonnis).
Menurut Jimly Asshidiqie Ketiga bentuk norma hukum tersebut merupakan general dan abstract norms. Vonnis dan beschikking selalu bersifat individual dan concrete norms, sedangkan regeling selalu bersifat general dan abstract.
Salah satu bentuk dari general dan abstract norms adalah pengujian konstitusionalitas undang-undang mengenai nilai dari segi formil ataupun materiil.
a.       Pengujian Formil (Formele Toetsingsrecht)
Pasal 51 ayat (3) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatur mengenai pengujian formil, di mana dalam ketentuan tersebut diatur bahwa Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945. Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa secara umum, yang dapat disebut sebagai pengujian formil (formeele toetsing) tidak hanya mencakup proses pembentukan undang-undang dalam arti sempit, tetapi juga mencakup pengujian mengenai aspek bentuk undang-undang dan pemberlakuan undang-undang[1].
b.      Pengujian Materiil (Materiele Toetsingsrecht)
Pasal 51 ayat (3) huruf b UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatur mengenai pengujian materiil, dimana dalam ketentuan tersebut diatur bahwa Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang[2], mengatur mengenai pengujian materiil sebagai berikut: "Pengujian materiil adalah pengujian undang-undang yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Dilihat dari objek yang diuji, maka peraturan perundang-undangan yang diuji terbagi atas[3]
1.      Seluruh peraturan perundang-undangan (legislative acts dan executive acts) dan tindakan administrasi terhadap UUD diuji oleh hakim pada seluruh jenjang peradilan. Pengujian dengan objek seperti ini dilakukan dalam kasus yang kongkrit, dan secara umum dilakukan pada Negara menggunakan common law system.
2.      UU terhadap UUD diuji oleh hakim-hakim pada MK, sedangkan peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap UU diuji oleh hakim-hakim di MA. Pengujian dengan pembagian objek tersebut secara umum tidak dilakukan dalam kasus yang kongkrit dan secara umum dilakukan pada Negara yang menggunakan sistem hukum civil law.

2.2  Bagaimanakah syarat dan tata cara pengajuan judicial review ke MK?
Menurut Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Undang-Undang MK dinyatakan bahwa
1.      Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/ kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-undang, yaitu:
a.       Perorangan warga negara Indonesia.
b.      Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakatnya dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang.
c.       Badan hukum Publik atau privat, dan/ atau.
d.      Lembaga negara.
2.      Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
3.      Dalam permohonannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa :
a.       Pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 dan/atau.
b.      Materi muatan dalam ayat,pasal dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya dalam 12 rangkap yang memuat sekurang-kurangnya[4]:
1.      Identitas Pemohon, meliputi:
a.       Nama
b.      Tempat tanggal lahir/ umur
c.       Agama
d.      Pekerjaan
e.       Kewarganegaraan
f.       Alamat Lengkap
g.      Nomor telepon/faksimili/telepon selular/e-mail (apabila ada).
2.      Uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan yang meliputi:
a.       Kewenangan Mahkamah
b.      Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon yang berisi uraian yang jelas mengenai anggapan Pemohon tentang hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU yang dimohonkan untuk diuji.
c.       Alasan permohonan pengujian diuraikan secara jelas dan rinci.
3.      Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian formil, yaitu:
a.       Mengabulkan permohonan Pemohon.
b.      Menyatakan bahwa pembentukan UU dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945
c.       Menyatakan UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
4.      Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian materiil, yaitu[5]:
a.       Mengabulkan permohonan Pemohon.
b.      Menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud bertentangan dengan UUD 1945.
c.       Menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pengajuan permohonan harus disertai dengan alat bukti yang mendukung permohonan tersebut yaitu alat bukti berupa[6] :
a.       Surat atau tulisan
b.      Keterangan saksi
c.       Keterangan ahli
d.      Keterangan para pihak
e.       Petunjuk dan
f.       Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. 

2.3  Apa yang menjadi model dan metode dalam judicial review di Indonesia?
Pengujian terhadap undang-undang sudah diterima baik secara luas di berbagai Negara yang jumlahnya menurut Jimly Assiddiqie sekitar lebih dari seratus Negara dan dalam berbagai variasi sesuai dengan ketatanegaraan masing-masing Negara, baik dari segi lembaga maupun fungsinya, sehingga ada banyak model-model pengujian undang-undang. Jimly Assiddiqie mengemukakan ada tiga model utama yakni         :
A.    Amerika Serikat
Di Amerika Serikat fungsi lembaga MK langsung melekat dan menjadi kewenangan Mahkamah Agung (supreme court) yang disebut dengan “The Guardian of American Constitution”. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan :
a.       bahwa kekuasaan untuk melakukan pengujian konstitusional itu langsung berada dan melekat pada Mahkamah Agung itu sendiri, oleh karenanya di Amerika Serikat, kewenangan yang demikian disebut dengan “The Guardian of American Constitution”.
b.       bahwa doktrin atau ajaran dalam pengujian konstitusional yang dikembangkan adalah dilakukan oleh semua pengadilan biasa melalui prosedur yang dinamakan dengan “Pengujian Terdesentralisasi” atau pengujian yang tersebar dan diperiksa di pengadilan biasa (Pengadilan yang ada di Negara bagian/Mahkamah Agung Federal).
Di samping itu, menurut doktrin yang kemudian biasa juga disebut sebagai doktrin John Marshall “judicial review” juga dilakukan atas persoalan-persoalan konstitusionalitas oleh semua pengadilan biasa melalui prosedur yang dinamakan pengujian terdesentralisasi atau pengujian tersebar di dalam perkara yang diperiksa di pengadilan biasa. Artinya, pengujian demikian itu, tidak bersifat institusional sebagai perkara yang berdiri sendiri, melainkan termasuk di dalam perkara lain yang sedang diperiksa oleh hakim dalam semua lapisan pengadilan. Karena itu, oleh para sarjana, model AS ini juga biasa disebut sebagai “Decentralized Model”.
Sistem yang demikian itu, terutama karena dipengaruhi oleh sistem konstitusi Amerika Serikat, antara lain diadopsikan oleh banyak negara, misalnya: di Eropah oleh Denmark, Estonia, Irlandia, Normegia, dan Swedia; di Afrika oleh Botswana, Gambia, Ghana, Guinea, Kenya, Malawi, Namibia, Nigeria, the Seychelles, Sierra Leone, Swaziland, dan Tanzania, di Timur Tengah oleh negara-negara Iran dan Israel, di Asia oleh Bangladesh, Fiji, Hong-Kong,India, Jepang, Filipina, Kiribati, Malaysia, Negara Federal Micronesia, Nauru, Nepal, New Zealand, Palau, Papua New Guinea, Singapura, Tibet, Tonga, Tuvalu, Vanuatu, dan Samoa Barat. Sedangkan di Amerika Utara, selain Amerika Serikat sendiri, Kanada juga tercatat mengadopsikan prinsip-prinsip pengujian konstitusional (constitutional review) itu dalam kewenangan Mahkamah Agung mereka[7].
B.     Model Austria (Continental Model)
Proses pengujian konstitusionalitas dalam model ini, dikehendaki adanya pengadilan konstitusi yang berdiri sendiri dengan hakim-hakimnya yang mempunyai kehalian khusus di bidang ini. Dalam menjalankan kewenangannya, Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian konstitusional terutama atas norma-norma yang bersifat abstrak (abstract review), meskipun pengujian atas norma konkrit juga dimungkinkan (concrete review).
Negara-negara yang mengikuti Model Austria ini di Eropah adalah: Albania, Andorra, Austria, Belarus, Federasi Bosnia dan Herzegovina (dengan masing-masing satuan federal (federal entities) memiliki Mahkamah Konstitusinya sendiri-sendiri, yaitu Mahkamah Konstitusi Bosnia and Herzegovina dan Mahkamah Konstitusi Republik Bosnia Serbia). Selain itu, ada pula negara-negara Bulgaria, Croatia, the Czech Republic, (dengan Mahkamah Konstitusi masing-masing republik Serbia and Montenegro), Republik Federal Jerman (di samping Mahkamah Konstitusi di berbagai negara bagian, yaitu: Baden-Wuerttemberg, Bavaria, Brandenburg, Bremen, Hamburg, Hessen, Niedersachsen, Nordrhein-Westfalen, Rheinland-Pfalz, Saarland, Sachsen, dan Sachsen-Anhalt).
Karena luasnya pola atau Model Austria ini diikuti dan dipraktekkan di dunia, ada baiknya kita lihat beberapa ciri umum yang terdapat dalam sistem “constitutional review” menurut Model Austria ini. Ciri-ciri umumnya adalah:
1.      Constitutional review” diterapkan dalam keadaan yang beragam, tergantung masing-masing sistem yang berlaku di tiap Negara.
2.      Badan-badan pelaksana pengujian atau “constitutional review” yang bersifat independen, didirikan di luar cabang kekuasaan kehakiman yang biasa berpuncak di Mahkamah Agung
3.      Dalam perkara-perkara yang menyangkut “constitutional complaint”, penyelesaian permasalahannya dilakukan dengan cara mengadakan pemisahan antara mekanisme “constitutional review” dari mekanisme yang berlaku di pengadilan-pengadilan biasa.
4.      Kedudukan konstitusional dengan jaminan kemandirian di bidang administratif dan finansial dianggap prasyarat utama bagi independensi lembaga peradilan konstitusi.
5.      Sifat monopoli dalam melakukan “constitutional review” atau spesialisasi dalam rangka“constitutional review”, ataupun terjaminnya konsentrasi kewenangan dalam satu institusi pelaksana.
6.      Adanya kekuasaan hakim untuk membatalkan undang-undang yang disahkan oleh parlemen (legislative acts).
7.      Para hakim Mahkamah Konstitusi biasanya dipilih oleh lembaga-lembaga politik (bodies of political power).
8.      Sifat khusus dari proses peradilan yang diselenggarakan, yaitu bahwa putusannya di samping bersifat juridis juga bernuansa politis, meskipun lembaga-lembaga mahkamah tersebut dapat pula memiliki fungsi yang murni bersifat konsultatif (apurely consultative function).
9.      Mekanisme yang berlaku dalam rangka pengujian konstitusionalitas atas undang-undang menurut Model Austria ini, pada umumnya, bersifat represif, meskipun untuk sebagian kecil tetap ada juga coraknya yang bersifat preventif yang diterapkan dalam praktek.
C.     Model Perancis (Conseil Constitutionnel)
Model “Constitutional Review” di Perancis ini berbeda dari tradisi negara-negara Eropah Kontinental lainnya. Model ini didasarkan atas bentuk kelembagaan Dewan Konstitusi untuk menjalankan fungsi pengujian konstitusionalitas. Pada mulanya, Perancis termasuk bersama-sama dengan Inggris dan Belanda dikenal sebagai penentang keras gagasan memberikan kewenangan kepada hakim atau pengadilan untuk melakukan pengujian konstitusionalitas atas undang-undang. Namun dalam perkembangan di kemudian hari, ide pengujian konstitusionalitas itu sendiri diterima, tetapi sebagai alternatifnya, sistem pengujian itu tidak dilakukan oleh hakim atau lembaga peradilan, melainkan oleh lembaga non-peradilan. Karena itu, yang dirumuskan dalam Konstitusi Perancis bukan pengadilan, melainkan dewan, sehingga dibentuk lembaga “Conseil Constitutionnel”.
Dalam sistem hukum dan konstitusi Perancis sampai sekarang, pengujian konstitusionalitas tersebut pada umumnya memang dilakukan oleh lembaga “Conseil Constitutionnel” ini. Akan tetapi, dalam perkembangannya, di samping oleh lembaga “Conseil Constitutionnel” pengujian konstitusionalitas juga dilakukan oleh kamar khusus dari Mahkamah Agung secara terkonsentrasi di dalam perkara-perkara. Hanya saja, pengujian konstitusionalitas yang dimaksudkan itu terbatas hanya untuk pengujian bersifat preventif (a priori review) ataupun pengujian yang bersifat konsultatif. Meskipun demikian, dalam bidang-bidang tertentu, khususnya yang berhubungan dengan pemilihan umum, sifat pengujian konstitusionalitas oleh “special chamber” di Mahkamah Agung itu dapat pula bersifat represif (a posteriori review)
Model kelembagaan institusi pelaksana pengujian konstitusionalitas (constitutional review) ini yang mengikuti Model Perancis ini antara lain adalah keberadaan Dewan Konstitusi di negara-negara Lebanon di Timur Tengah; Aljazair (Algeria), Comoros, Djibouti, Ivory Coast, Marocco, Mauritania, Mozambique, dan Senegal di Afrika, serta Kamboja dan Kazakhztan di kawasan Asia.
Untuk lebih mudah membedakan ketiga model tersebut, dapat di lihat dalam tabel berikut :
Model
Amerika Serikat
Austria
Perancis
Lembaga Pengujan UU
MA yang berfungsi melakukan fungsi pengadilan umum
Pengadilan khusus untuk pengujian UU
Dewan Konstitusi yang dibentuk khusus,terpisah dengan peradilan adminstrasi
Waktu dilakukan pengujian UU
a posteriori review
a priori review/ posteriori review
Preventif  review
Negara Penganutnya
Denmark, Estonia, Irlandia, Normegia, dan Swedia; di Afrika oleh Botswana, Gambia, Ghana, Guinea, Kenya, Malawi, Namibia, Nigeria, the Seychelles, Sierra Leone, Swaziland, dan Tanzania; di Timur Tengah oleh negara-negara Iran dan Israel; di Asia oleh Bangladesh, Fiji, Hong-Kong,India, Jepang, Filipina, Kiribati, Malaysia, Negara Federal Micronesia, Nauru, Nepal, New Zealand, Palau, Papua New Guinea, Singapura, Tibet[10], Tonga, Tuvalu, Vanuatu, dan Samoa Barat
Albania, Andorra, Austria, Belarus, Federasi Bosnia dan Herzegovina (dengan masing-masing satuan federal (federal entities) memiliki Mahkamah Konstitusinya sendiri-sendiri, yaitu Mahkamah Konstitusi Bosnia and Herzegovina dan Mahkamah Konstitusi Republik Bosnia Serbia). Selain itu, ada pula negara-negara Bulgaria, Croatia, the Czech Republic, the FRY (dengan Mahkamah Konstitusi masing-masing republik Serbia and Montenegro), Republik Federal Jerman (di samping Mahkamah Konstitusi di berbagai negara bagian, yaitu: Baden-Wuerttemberg, Bavaria, Brandenburg, Bremen, Hamburg, Hessen, Niedersachsen, Nordrhein-Westfalen, Rheinland-Pfalz, Saarland, Sachsen, dan Sachsen-Anhalt
Aljazair (Algeria), Comoros, Djibouti, Ivory Coast, Marocco, Mauritania, Mozambique, dan Senegal di Afrika, serta Kamboja dan Kazakhztan di kawasan Asia.
Konsep Dasar
Ajaran trias politika (chek and balances)
Ajaran pemisahan pengujian norma abstrak (MK) dan norma kongkrit (MA).
Ada pengaruh supremasi parlemen
Sumber : Jimly Assidiqie[8]
Indonesia cenderung mengikuti model Austria bila dilihat dari lembaga yang melakukan pengujian yang juga dianut oleh 73 negara termasuk Jerman, walaupun ada berbagai variasi tergantung pada konstitusi masing-masing Negara. Model Austria adalah berdasarkan pemikiran Hans Kelsen yang dimuat dalam Konstitusi Austria tahun 1920.
Model ini menyeimbangkan supremasi parlemen dengan supremasi konstitusi, supaya kedaulatan rakyat tidak menyimpang dari the supreme law of tha land.Model ini menghendaki dibentuknya pengadilan konstitusi yang bersiri sendiri (MK/Verfassungsgerichtshof). Dimana pengujian dapat bersifat a posteriori review dan a priori review. Putusannya mengikat secara erga omnes dan bersifat mutlak berdasarkan the absolute authority of the institution. Uji konstitusionalitas MK berupa abstract review, bukan concrete review (vonnis atau beschikking).
















BAB III
PENUTUP

1.1  Kesimpulan
Fungsi MK adalah untuk menegakkan konstitusi atau UUD 1945 sebagai supreme dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Fungsi penegakan konstitusionalisme tersebut adalah selain pembatasan kekuasaan juga untuk mengatur hubungan antara warga Negara dan organ Negara, agar kekuasaan pemerintahan berjalan dengan tertib. Oleh karena hal itu, tujuan hukum yakni untuk mencapai kedamaian dengan mewujudkan kepastian dan keadilan di dalam masyarakat, salah satunya melalui pengujian konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD guna untuk menegakkan konstitusi (sebagaimana diamanahkan kepada lembaga MK) dapat tercapai.
Melalui judicial review masyarakat dapat memperoleh ganti rugi melawan pemerintahan yang represif sebagai sarana yang memungkinkan pengadilan untuk mengawasi dan mengontrol penyalahgunaan wewenang oleh eksekutif. Jadi dapat kita pahami bahwa adanya control rakyat terhadap segala tindakan pemerintah lewat badan pengadilan, yang sesuai dengan prinsip-prinsip Negara demokrasi dibawah the rule of law dan system check and balances.
Perkembangan gagasan pengujian konstitusional (constitutional review), dalam berbagai Negara mengalami suatu perkembangan yang sangat pesat dengan tahapan-tahapan yang beragam dan berbeda antara satu Negara dengan Negara lainnya. Hal ini tentunya tidak terlepas dari politik  dalam berbagai Negara tersebut. Jimly Assiddiqie mengemukakan adanya tiga model utama seperti model Amerika serikat, model Perancis dan model Austria.



[1] Jimly Asshiddiqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta. hal. 62-63
[2] Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian undang-undang diunduh di situs web www.mahkamah konstitusi.go.id.
[3] Marhaendra Wija Atmaja. Risalah Bahan Kuliah Hukum Peradilan Konstitusi. Denpasar. Hal. 2
[4] lihat Pasal 29 UU tentang MK
[5] lihat Pasal 31 UU MK jo. Pasal 5 Peraturan MK No. 06/PMK/2005 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang – Peraturan MK 6/2005.
[6] Pasal 31 ayat (2) jo. Pasal 36 UU MK
[7] Marhaendra Wija Atmaja. Risalah Bahan Kuliah Hukum Peradilan Konstitusi. Denpasar. Hal.4
[8] Jimly Asshiddiqie. Op-Cit.hal 2