BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Bagaimanakah mekanisme kewenangan MK
dalam menguji UU terhadap UUD?
Terdapat tiga macam norma hukum yang
dapat diuji, yang biasa disebut dengan mekanisme control norma. Ketiganya
merupakan hasil dari proses pengambilan keputusan hukum.
1. Keputusan
normative yang berisi atau bersifat pengaturan (regeling).
2. Keputusan
normative yang berisi atau bersifat penetapan administrative (bescikking).
3. Keputusan
normative yang berisi atau bersifat penghakiman (vonnis).
Menurut Jimly Asshidiqie Ketiga bentuk
norma hukum tersebut merupakan general dan abstract norms. Vonnis dan beschikking
selalu bersifat individual dan concrete norms, sedangkan regeling selalu bersifat general dan abstract.
Salah satu bentuk dari general dan abstract norms adalah
pengujian konstitusionalitas undang-undang mengenai nilai dari segi formil
ataupun materiil.
a. Pengujian
Formil (Formele Toetsingsrecht)
Pasal 51 ayat (3) huruf a UU Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatur mengenai pengujian formil, di
mana dalam ketentuan tersebut diatur bahwa Pemohon wajib menguraikan dengan
jelas bahwa pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD
1945. Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa secara umum, yang dapat disebut
sebagai pengujian formil (formeele
toetsing) tidak hanya mencakup proses pembentukan undang-undang dalam arti
sempit, tetapi juga mencakup pengujian mengenai aspek bentuk undang-undang dan
pemberlakuan undang-undang[1].
b. Pengujian
Materiil (Materiele Toetsingsrecht)
Pasal 51 ayat (3) huruf b UU Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatur mengenai pengujian materiil,
dimana dalam ketentuan tersebut diatur bahwa Pemohon wajib menguraikan dengan
jelas bahwa materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap
bertentangan dengan UUD 1945. Dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian
Undang-Undang[2],
mengatur mengenai pengujian materiil sebagai berikut: "Pengujian materiil
adalah pengujian undang-undang yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat,
pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun
1945.
Dilihat dari objek yang
diuji, maka peraturan perundang-undangan yang diuji terbagi atas[3]
1. Seluruh
peraturan perundang-undangan (legislative
acts dan executive acts) dan
tindakan administrasi terhadap UUD diuji oleh hakim pada seluruh jenjang
peradilan. Pengujian dengan objek seperti ini dilakukan dalam kasus yang
kongkrit, dan secara umum dilakukan pada Negara menggunakan common law system.
2. UU
terhadap UUD diuji oleh hakim-hakim pada MK, sedangkan peraturan
perundang-undangan dibawah UU terhadap UU diuji oleh hakim-hakim di MA.
Pengujian dengan pembagian objek tersebut secara umum tidak dilakukan dalam
kasus yang kongkrit dan secara umum dilakukan pada Negara yang menggunakan
sistem hukum civil law.
2.2 Bagaimanakah syarat dan tata cara
pengajuan judicial review ke MK?
Menurut
Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Undang-Undang MK dinyatakan
bahwa
1. Pemohon
adalah pihak yang menganggap hak dan/ kewenangan konstitusionalnya dirugikan
oleh berlakunya Undang-undang, yaitu:
a. Perorangan
warga negara Indonesia.
b. Kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakatnya dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur
dalam Undang-Undang.
c. Badan
hukum Publik atau privat, dan/ atau.
d. Lembaga
negara.
2. Pemohon
wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
3. Dalam
permohonannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan
dengan jelas bahwa :
a. Pembentukan
undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 dan/atau.
b. Materi
muatan dalam ayat,pasal dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan
dengan UUD NRI Tahun 1945.
Permohonan diajukan secara tertulis
dalam Bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya dalam 12
rangkap yang memuat sekurang-kurangnya[4]:
1. Identitas
Pemohon, meliputi:
a. Nama
b. Tempat
tanggal lahir/ umur
c. Agama
d. Pekerjaan
e. Kewarganegaraan
f. Alamat
Lengkap
g. Nomor
telepon/faksimili/telepon selular/e-mail (apabila ada).
2. Uraian
mengenai hal yang menjadi dasar permohonan yang meliputi:
a. Kewenangan
Mahkamah
b. Kedudukan
hukum (legal standing) Pemohon yang berisi uraian yang jelas mengenai anggapan
Pemohon tentang hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan
dengan berlakunya UU yang dimohonkan untuk diuji.
c. Alasan
permohonan pengujian diuraikan secara jelas dan rinci.
3. Hal-hal
yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian formil, yaitu:
a. Mengabulkan
permohonan Pemohon.
b. Menyatakan
bahwa pembentukan UU dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU
berdasarkan UUD 1945
c. Menyatakan
UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
4. Hal-hal
yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian materiil, yaitu[5]:
a. Mengabulkan
permohonan Pemohon.
b. Menyatakan
bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud bertentangan
dengan UUD 1945.
c. Menyatakan
bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
Pengajuan
permohonan harus disertai dengan alat bukti yang mendukung permohonan tersebut
yaitu alat bukti berupa[6] :
a. Surat
atau tulisan
b. Keterangan
saksi
c. Keterangan
ahli
d. Keterangan
para pihak
e. Petunjuk
dan
f. Alat
bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
2.3 Apa yang menjadi model dan metode
dalam judicial review di Indonesia?
Pengujian terhadap undang-undang sudah
diterima baik secara luas di berbagai Negara yang jumlahnya menurut Jimly
Assiddiqie sekitar lebih dari seratus Negara dan dalam berbagai variasi sesuai
dengan ketatanegaraan masing-masing Negara, baik dari segi lembaga maupun
fungsinya, sehingga ada banyak model-model pengujian undang-undang. Jimly
Assiddiqie mengemukakan ada tiga model utama yakni :
A. Amerika
Serikat
Di Amerika
Serikat fungsi lembaga MK langsung melekat dan menjadi kewenangan Mahkamah
Agung (supreme court) yang disebut
dengan “The Guardian of American
Constitution”. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan :
a. bahwa
kekuasaan untuk melakukan pengujian konstitusional itu langsung berada dan
melekat pada Mahkamah Agung itu sendiri, oleh karenanya di Amerika Serikat, kewenangan
yang demikian disebut dengan “The
Guardian of American Constitution”.
b. bahwa doktrin atau ajaran dalam pengujian
konstitusional yang dikembangkan adalah dilakukan oleh semua pengadilan biasa
melalui prosedur yang dinamakan dengan “Pengujian Terdesentralisasi” atau
pengujian yang tersebar dan diperiksa di pengadilan biasa (Pengadilan yang ada
di Negara bagian/Mahkamah Agung Federal).
Di
samping itu, menurut doktrin yang kemudian biasa juga disebut sebagai doktrin
John Marshall “judicial review” juga
dilakukan atas persoalan-persoalan konstitusionalitas oleh semua pengadilan biasa
melalui prosedur yang dinamakan pengujian terdesentralisasi atau pengujian
tersebar di dalam perkara yang diperiksa di pengadilan biasa. Artinya,
pengujian demikian itu, tidak bersifat institusional sebagai perkara yang
berdiri sendiri, melainkan termasuk di dalam perkara lain yang sedang diperiksa
oleh hakim dalam semua lapisan pengadilan. Karena itu, oleh para sarjana, model
AS ini juga biasa disebut sebagai “Decentralized
Model”.
Sistem yang demikian
itu, terutama karena dipengaruhi oleh sistem konstitusi Amerika Serikat, antara
lain diadopsikan oleh banyak negara, misalnya: di Eropah oleh Denmark, Estonia,
Irlandia, Normegia, dan Swedia; di Afrika oleh Botswana, Gambia, Ghana, Guinea,
Kenya, Malawi, Namibia, Nigeria, the Seychelles, Sierra Leone, Swaziland, dan
Tanzania, di Timur Tengah oleh negara-negara Iran dan Israel, di Asia oleh
Bangladesh, Fiji, Hong-Kong,India, Jepang, Filipina, Kiribati, Malaysia, Negara
Federal Micronesia, Nauru, Nepal, New Zealand, Palau, Papua New Guinea,
Singapura, Tibet, Tonga, Tuvalu, Vanuatu, dan Samoa Barat. Sedangkan di Amerika
Utara, selain Amerika Serikat sendiri, Kanada juga tercatat mengadopsikan
prinsip-prinsip pengujian konstitusional (constitutional
review) itu dalam kewenangan Mahkamah Agung mereka[7].
B. Model
Austria (Continental Model)
Proses pengujian
konstitusionalitas dalam model ini, dikehendaki adanya pengadilan konstitusi
yang berdiri sendiri dengan hakim-hakimnya yang mempunyai kehalian khusus di
bidang ini. Dalam menjalankan kewenangannya, Mahkamah Konstitusi melakukan
pengujian konstitusional terutama atas norma-norma yang bersifat abstrak (abstract review), meskipun pengujian
atas norma konkrit juga dimungkinkan (concrete
review).
Negara-negara
yang mengikuti Model Austria ini di Eropah adalah: Albania, Andorra, Austria,
Belarus, Federasi Bosnia dan Herzegovina (dengan masing-masing satuan federal
(federal entities) memiliki Mahkamah Konstitusinya sendiri-sendiri, yaitu
Mahkamah Konstitusi Bosnia and Herzegovina dan Mahkamah Konstitusi Republik Bosnia
Serbia). Selain itu, ada pula negara-negara Bulgaria, Croatia, the Czech
Republic, (dengan Mahkamah Konstitusi masing-masing republik Serbia and
Montenegro), Republik Federal Jerman (di samping Mahkamah Konstitusi di
berbagai negara bagian, yaitu: Baden-Wuerttemberg, Bavaria, Brandenburg,
Bremen, Hamburg, Hessen, Niedersachsen, Nordrhein-Westfalen, Rheinland-Pfalz,
Saarland, Sachsen, dan Sachsen-Anhalt).
Karena luasnya
pola atau Model Austria ini diikuti dan dipraktekkan di dunia, ada baiknya kita
lihat beberapa ciri umum yang terdapat dalam sistem “constitutional review” menurut Model Austria ini. Ciri-ciri umumnya
adalah:
1. “Constitutional review” diterapkan dalam
keadaan yang beragam, tergantung masing-masing sistem yang berlaku di tiap
Negara.
2. Badan-badan
pelaksana pengujian atau “constitutional
review” yang bersifat independen, didirikan di luar cabang kekuasaan
kehakiman yang biasa berpuncak di Mahkamah Agung
3. Dalam
perkara-perkara yang menyangkut “constitutional
complaint”, penyelesaian permasalahannya dilakukan dengan cara mengadakan
pemisahan antara mekanisme “constitutional
review” dari mekanisme yang berlaku di pengadilan-pengadilan biasa.
4. Kedudukan
konstitusional dengan jaminan kemandirian di bidang administratif dan finansial
dianggap prasyarat utama bagi independensi lembaga peradilan konstitusi.
5. Sifat
monopoli dalam melakukan “constitutional
review” atau spesialisasi dalam rangka“constitutional
review”, ataupun terjaminnya konsentrasi kewenangan dalam satu institusi
pelaksana.
6. Adanya
kekuasaan hakim untuk membatalkan undang-undang yang disahkan oleh parlemen (legislative acts).
7. Para
hakim Mahkamah Konstitusi biasanya dipilih oleh lembaga-lembaga politik (bodies of political power).
8. Sifat
khusus dari proses peradilan yang diselenggarakan, yaitu bahwa putusannya di
samping bersifat juridis juga bernuansa politis, meskipun lembaga-lembaga
mahkamah tersebut dapat pula memiliki fungsi yang murni bersifat konsultatif (apurely consultative function).
9. Mekanisme
yang berlaku dalam rangka pengujian konstitusionalitas atas undang-undang
menurut Model Austria ini, pada umumnya, bersifat represif, meskipun untuk
sebagian kecil tetap ada juga coraknya yang bersifat preventif yang diterapkan
dalam praktek.
C. Model
Perancis (Conseil Constitutionnel)
Model “Constitutional Review” di Perancis ini
berbeda dari tradisi negara-negara Eropah Kontinental lainnya. Model ini
didasarkan atas bentuk kelembagaan Dewan Konstitusi untuk menjalankan fungsi
pengujian konstitusionalitas. Pada mulanya, Perancis termasuk bersama-sama
dengan Inggris dan Belanda dikenal sebagai penentang keras gagasan memberikan
kewenangan kepada hakim atau pengadilan untuk melakukan pengujian
konstitusionalitas atas undang-undang. Namun dalam perkembangan di kemudian
hari, ide pengujian konstitusionalitas itu sendiri diterima, tetapi sebagai
alternatifnya, sistem pengujian itu tidak dilakukan oleh hakim atau lembaga
peradilan, melainkan oleh lembaga non-peradilan. Karena itu, yang dirumuskan
dalam Konstitusi Perancis bukan pengadilan, melainkan dewan, sehingga dibentuk
lembaga “Conseil Constitutionnel”.
Dalam sistem
hukum dan konstitusi Perancis sampai sekarang, pengujian konstitusionalitas
tersebut pada umumnya memang dilakukan oleh lembaga “Conseil Constitutionnel” ini. Akan tetapi, dalam perkembangannya,
di samping oleh lembaga “Conseil
Constitutionnel” pengujian konstitusionalitas juga dilakukan oleh kamar
khusus dari Mahkamah Agung secara terkonsentrasi di dalam perkara-perkara.
Hanya saja, pengujian konstitusionalitas yang dimaksudkan itu terbatas hanya
untuk pengujian bersifat preventif (a
priori review) ataupun pengujian yang bersifat konsultatif. Meskipun
demikian, dalam bidang-bidang tertentu, khususnya yang berhubungan dengan
pemilihan umum, sifat pengujian konstitusionalitas oleh “special chamber” di Mahkamah Agung itu dapat pula bersifat represif
(a posteriori review)
Model
kelembagaan institusi pelaksana pengujian konstitusionalitas (constitutional review) ini yang
mengikuti Model Perancis ini antara lain adalah keberadaan Dewan Konstitusi di
negara-negara Lebanon di Timur Tengah; Aljazair (Algeria), Comoros, Djibouti,
Ivory Coast, Marocco, Mauritania, Mozambique, dan Senegal di Afrika, serta
Kamboja dan Kazakhztan di kawasan Asia.
Untuk lebih
mudah membedakan ketiga model tersebut, dapat di lihat dalam tabel berikut :
Model
|
Amerika
Serikat
|
Austria
|
Perancis
|
Lembaga
Pengujan UU
|
MA
yang berfungsi melakukan fungsi pengadilan umum
|
Pengadilan
khusus untuk pengujian UU
|
Dewan
Konstitusi yang dibentuk khusus,terpisah dengan peradilan adminstrasi
|
Waktu
dilakukan pengujian UU
|
a
posteriori review
|
a
priori review/ posteriori review
|
Preventif review
|
Negara
Penganutnya
|
Denmark,
Estonia, Irlandia, Normegia, dan Swedia; di Afrika oleh Botswana, Gambia,
Ghana, Guinea, Kenya, Malawi, Namibia, Nigeria, the Seychelles, Sierra Leone,
Swaziland, dan Tanzania; di Timur Tengah oleh negara-negara Iran dan Israel;
di Asia oleh Bangladesh, Fiji, Hong-Kong,India, Jepang, Filipina, Kiribati,
Malaysia, Negara Federal Micronesia, Nauru, Nepal, New Zealand, Palau, Papua
New Guinea, Singapura, Tibet[10], Tonga, Tuvalu, Vanuatu, dan Samoa Barat
|
Albania,
Andorra, Austria, Belarus, Federasi Bosnia dan Herzegovina (dengan
masing-masing satuan federal (federal entities) memiliki Mahkamah
Konstitusinya sendiri-sendiri, yaitu Mahkamah Konstitusi Bosnia and
Herzegovina dan Mahkamah Konstitusi Republik Bosnia Serbia). Selain itu, ada
pula negara-negara Bulgaria, Croatia, the Czech Republic, the FRY (dengan
Mahkamah Konstitusi masing-masing republik Serbia and Montenegro), Republik
Federal Jerman (di samping Mahkamah Konstitusi di berbagai negara bagian,
yaitu: Baden-Wuerttemberg, Bavaria, Brandenburg, Bremen, Hamburg, Hessen,
Niedersachsen, Nordrhein-Westfalen, Rheinland-Pfalz, Saarland, Sachsen, dan
Sachsen-Anhalt
|
Aljazair
(Algeria), Comoros, Djibouti, Ivory Coast, Marocco, Mauritania, Mozambique,
dan Senegal di Afrika, serta Kamboja dan Kazakhztan di kawasan Asia.
|
Konsep
Dasar
|
Ajaran
trias politika (chek and balances)
|
Ajaran
pemisahan pengujian norma abstrak (MK) dan norma kongkrit (MA).
|
Ada
pengaruh supremasi parlemen
|
Sumber : Jimly Assidiqie[8]
Indonesia cenderung mengikuti model
Austria bila dilihat dari lembaga yang melakukan pengujian yang juga dianut
oleh 73 negara termasuk Jerman, walaupun ada berbagai variasi tergantung pada
konstitusi masing-masing Negara. Model Austria adalah berdasarkan pemikiran
Hans Kelsen yang dimuat dalam Konstitusi Austria tahun 1920.
Model ini menyeimbangkan supremasi
parlemen dengan supremasi konstitusi, supaya kedaulatan rakyat tidak menyimpang
dari the supreme law of tha land.Model
ini menghendaki dibentuknya pengadilan konstitusi yang bersiri sendiri (MK/Verfassungsgerichtshof). Dimana pengujian
dapat bersifat a posteriori review
dan a priori review. Putusannya mengikat
secara erga omnes dan bersifat mutlak
berdasarkan the absolute authority of the
institution. Uji konstitusionalitas MK berupa abstract review, bukan concrete
review (vonnis atau beschikking).
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Fungsi
MK adalah untuk menegakkan konstitusi atau UUD 1945 sebagai supreme dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia. Fungsi penegakan konstitusionalisme tersebut
adalah selain pembatasan kekuasaan juga untuk mengatur hubungan antara warga
Negara dan organ Negara, agar kekuasaan pemerintahan berjalan dengan tertib.
Oleh karena hal itu, tujuan hukum yakni untuk mencapai kedamaian dengan
mewujudkan kepastian dan keadilan di dalam masyarakat, salah satunya melalui
pengujian konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD guna untuk menegakkan
konstitusi (sebagaimana diamanahkan kepada lembaga MK) dapat tercapai.
Melalui
judicial review masyarakat dapat
memperoleh ganti rugi melawan pemerintahan yang represif sebagai sarana yang
memungkinkan pengadilan untuk mengawasi dan mengontrol penyalahgunaan wewenang
oleh eksekutif. Jadi dapat kita pahami bahwa adanya control rakyat terhadap
segala tindakan pemerintah lewat badan pengadilan, yang sesuai dengan
prinsip-prinsip Negara demokrasi dibawah the
rule of law dan system check and
balances.
Perkembangan
gagasan pengujian konstitusional (constitutional
review), dalam berbagai Negara mengalami suatu perkembangan yang sangat
pesat dengan tahapan-tahapan yang beragam dan berbeda antara satu Negara dengan
Negara lainnya. Hal ini tentunya tidak terlepas dari politik dalam berbagai Negara tersebut. Jimly
Assiddiqie mengemukakan adanya tiga model utama seperti model Amerika serikat,
model Perancis dan model Austria.
[1]
Jimly Asshiddiqie. Hukum Acara Pengujian
Undang-Undang. Jakarta. hal. 62-63
[2] Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara
Pengujian undang-undang diunduh di situs web www.mahkamah konstitusi.go.id.
[3]
Marhaendra Wija Atmaja. Risalah Bahan
Kuliah Hukum Peradilan Konstitusi. Denpasar. Hal. 2
[4] lihat
Pasal 29 UU tentang MK
[5] lihat
Pasal 31 UU MK jo. Pasal 5 Peraturan MK No. 06/PMK/2005 Tahun 2005 tentang
Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang – Peraturan MK 6/2005.
[6] Pasal
31 ayat (2) jo. Pasal 36 UU MK
[7] Marhaendra
Wija Atmaja. Risalah Bahan Kuliah Hukum Peradilan Konstitusi. Denpasar. Hal.4
[8] Jimly
Asshiddiqie. Op-Cit.hal 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar