Minggu, 16 November 2014

adversary model dan non adversary model dalam Sistem Peradilan Pidana

1.      Apa itu adversary model dan non adversary model?
Jawab        :
Dinegara-negara yang menganut Common Law System, sistem peradilan pidana mengandung dua model yaitu      :
a.       Adversary model dalam sistem peradilan pidana menganut prinsip sebagai berikut:
1.      Prosedur peradilan pidana harus merupakan suatu “sengketa” (dispute) antara kedua belah pihak (tertuduh dan penuntut umum) dalam kedudukan (secara teoritis) yang sama dimuka pengadilan.
2.      Tujuan utama “prosedur” sebagaimana yang dimaksud pada butir 1 diatas adalah menyelesaikan sengketa (dispute) yang timbul disebabkan timbulnya kejahatan.
3.      Penggunaan cara pengajuan sanggahan atau pernyataan (pleadings) dan adanya lembaga jaminan dan perundingan bukan hanya suatu keharusan,melainkan merupakan suatu hal yang penting.
4.      Para pihak atau kontestan memiliki fungsi yang otonom dan jelas,peranan penuntut umum ialah melakukan penuntutan,peranan tertuduh ialah menolak atau menyanggah tuduhan. PU bertujuan menetapkan fakta mana saja yang akan dibuktikan disertai bukti yang menunjang fakta tersebut. Tertuduh bertugas menentukan fakta-fakta mana saja yang akan diajukan dipersidangan yang akan menguntungkan kedudukannya dengan menyampaikan bukti-bukti lain sebagai penunjang fakta dimaksud.
Jadi, dalam adversary model peranan hakim dalam “sengketa” (dispute) adalah mengamati para pihak sebagai wasit yang tidak memihak. Hakim akan berperan aktif apabila ada salah satu pihak yang mengajukan keberatan atas argumentasi atau cara yang digunakan pihak lain dalam menunjang fakta yang diajukan dimuka siding. Setelah proses persidangan selesai, hakim diharapkan dapat mementukan putusannya.
Kebenaran dalam adversary model hanya dapat diperoleh dengan memberikan kesempatan yang sama kepada masing-masing pihak (tertuduh dan penuntut umum) untuk mengajukan argumentasi disertai bukti penunjangnya.
Sistem pembuktian berdasarkan adversary model sesungguhnya ditujukan untuk mengurangi kemungkinan dituntutnya seseorang yang nyata-nyata tidak bersalah. Selain itu juga,lebih membatasi ruang gerak aparat penegak hukum tertutama pihak kepolisian bahkan, termasuk hakim pengadilan masih dibatasi oleh ketentuan

b.      Sedangkan “non-adversary model” menganut prinsip bahwa:
1.      Proses pemeriksaan harus bersifat lebih formal dan berkesinambungan serta dilaksanakan atas dasar praduga bahwa kejahatan telah dilakukan (presumption of guilt).
2.      Tujuan utamanya adalah menetapkan apakah dalam kenyataannya perbuatan tersebut merupakan perkara pidana, dan apakah penjatuhan hukuman dapat dibenarkan karenanya.
3.      Penelitan terhadap fakta yang diajukan oleh para pihak (penuntut umum dan tertuduh) oleh hakim dapat berlaku tidak terbatas dan tidak bergantung panda atau tidak perlu memperoleh izin para pihak.
4.      Kedudukan masing-masing pihak-penuntut umum dan tertuduh-tidak lagi otonom dan sederajat.
5.      Semua sumber informasi yang dapat dipercaya dapat dipergunakan guna kepentingan pemeriksaan pendahuluan ataupun di persidangan. Tertuduh merupakan obyek utama dalam pemeriksaan.
Kebenaran dalam non adversary model hanya dapat diperoleh melalui suatu penyelidikan oleh pihak pengadilan yang tidak memihak.
Dalam non adversary model,sistem pembuktian lebih cenderung ditujukan untuk mencapai kebebasan (material) dari suatu perkara pidana. Peranan hakim yang aktif dalam menilai kebenaran atas fakta yang diajukan dimuka persidangan,dapat dikatakan merupakan cara mencapai tujuan sebagaimana dimaksudkan diatas.

Persamaan sistem ini adalah,dapat dinilai dari pandangan yang sama tentang nilai kebenaran suatu proses penyelesaian perkara pidana.
Sumber: (Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Romli Atmasasmita hal.42-47)

2.      Bandingkan sistem peradilan pidana di Indonesia!
Sistem peradilan pidana di Indonesia menganut sistem campuran antara adversary model dan non adversary model. .
Dalam adversary model dapat tercermin dalam ketentuan           :
a.       Pasal 13 KUHAP
Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
b.      Pasal 65 KUHAP
Tersangka atau terdakwa berhak mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.

c.       Asas Presumption of Innocence
Setiap orang yang disangka,ditangkap,ditahan,dituntut dan atau dihadapkan dimuka siding pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan.
d.      Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1)
Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

Dalam non adversary model dapat tercermin dalam ketentuan    :
a.       Pasal 66 KUHAP
Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.
b.      Asas Inkisitor
Tersangka dipandang sebagai objek pemeriksaan.
c.       Asas pemeriksaan yang langsung dan lisan
Pemeriksaan disidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung baik kepada terdakwa maupun kepada sanksi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar