BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Bagaimanakah pengaturan pidana
penjara dalam KUHP dalam kaitan dengan kasus perzinahan?
Sistem Pidana
penjara mulai di kenal di Indonesia melalui Wetboek
van Strefrecht voor Indonesie, yang kemudian berdasarkan ketentuan didalam
Pasal 6 Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1964 namanya diubah menjadi Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang mulai diberlakukan di Indonesia berdasarkan Koninklijk Besluit. Dimana, sejak saat
itu, hukum pidana di Indonesia mengenal dua jenis pidana, yaitu pidana pokok dan
pidana tambahan.
Menurut
ketentuan didalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , pidana terdiri
atas :
a. Pidana
Pokok
1. Hukuman
mati
2. Hukuman
penjara
3. Hukuman
kurungan
4. Hukuman
denda
b. Pidana
Tambahan
1. Pencabutan
hak-hak tertentu
2. Perampasan
barang-barang tertentu
3. Pengumuman
putusan hakim.
Yang
dimaksud dengan pidana penjara adalah suatu pidana yang berupa pembatasan
kebebasan bergerak dari seseorang terpidana, yang dilakukan dengan cara menutup
orang tersebut disebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang
tersebut untuk mentaati semua peraturan dan tata tertib yang berlaku didalam
lembaga pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi
mereka yang telah melanggar peraturan tersebut[1].
Lembaga
Pemasyarakatan (LP) merupakan bagian akhir dari Sistem Peradilan Pidana yang
merupakan bagian Integral dari Integrated
Criminal Justice system. Sehingga di tinjau dari sistem kelembagaan, cara
pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan merupakan bagian akhir yang tidak
terpisahkan dari suatu proses penegakkan hukum. Oleh sebab itu sudah seharusnya
didalam pidana penjara tersebut, mengandung didalamnya tujuan-tujuan pemidanaan
yang baik, sehingga tujuan serta upaya
dari pada para lembaga penegakkan hukum akan tercapai dan usaha lembaga
penegakan hukum dimulai dari Polisi, jaksa dan hakim tidaklah menjadi sia-sia.
Pada
awalnya pidana penjara dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan
suatu delik. Teori pemidanaan ini disebut dengan teori absolut yang
diperkenalkan oleh Kent dan Hegel. Dalam teori ini menjelaskan bahwa Negara
berhak menjatuhkan pidana karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan
dan perkosaan pada hak dan kepentingan hukum yang dilindungi. Maka, ia harus
diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya. Dimana dalam
teori ini sama sekali tidak melihat bagaimana nasib terpidana kedepannya.
Dalam
bukunya Hukum Penitensier Indonesia Theo Lamintang menyebutkan bahwa, Sejak
abad ke 17, dimana orang-orang mulai membangun apa yang disebut dengan
lembaga-lembaga penertiban di Negara Belanda yang kemudian diikuti oleh
lembaga-lembaga sejenis hampir diseluruh Negara Eropa yang menjadi pelopor
bahwa pidana penjara bukan hanya untuk menutup dan membuat jera para terpidana
melainkan juga memperbaiki para terpidana, terutama dengan mewajibkan mereka
untuk mentaati peraturan-peraturan tata tertib yang mendidik mereka secara
sistematis untuk melakukan berbagai macam pekerjaan.
Hal
ini berarti, Pidana penjara yang merupakan perampasan kemerdekaan seseorang
tersebut, tidak hanya semata-mata pembalasan berupa penderitaan terhadap orang
tersebut karena telah melakukan suatu perbuatan pidana, namun disamping itu
juga memiliki tujuan lain yakni membina dan membimbing agar terpidana dapat
kembali menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna bagi nusa dan bangsa.
Hal tersebut sesuai dengan tujuan pemidanaan dalam Teori Gabungan yang
dikemukakan Grotius dmana teori gabungan menitik beratkan pada keadilan mutlak
yang diwujudkan dengan pembalasan, namun pembalasan tersebut berguna bagi
masyarakat.
Peraturan
perundang-undangan yang mengatur masalah lembaga pemasyarakatan di Indonesia
adalah Ordonasi tanggal 10 Desember 1917, Staatsblad tahun 1917 nomor 708, yang
juga dikenal dengan sebutan Gestichtenreglement.[2]
Dalam
Pasal 12 ayat (1) KUHP dijelaskan bahwa pidana penjara meliputi 2 jenis yakni
pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu. Pidana
penjara seumur hidup adalah pidana penjara yang dijatuhkan kepada terpidana
selama terpidana masih hidup hingga meninggal. Sementara pidana penjara selama
waktu tertentu, dalam pasal 12 ayat (2) KUHP dinyatakan, pidana penjara selama
waktu tertentu paling pendek 1 hari dan paling lama 15 tahun berturut-turut.
Pasal 12 ayat (3) KUHP menyatakan bahwa : pidana penjara selama waktu tertentu
boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang
pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup, dan
pidana penjara selama waktu tertentu, atau antara pidana penjara seumur hidup
dan pidana penjara selama waktu tertentu, begitu juga dalam hal batas lima
belas tahun dilampaui sebab tambahanan pidana karena perbarengan, pengulangan
atau karena ditentukan Pasal 52.
Pidana
penjara dan pidana kurungan merupakan suatu jenis pidana pokok yang berbeda,
sekalipun antara pidana penjara dan pidana kurungan memiliki kesamaan. Perbedaan antara pidana penjara dan pidana
kurungan dapat dilihat melalui table berikut :
Perbedaan
|
Pidana Penjara
|
Pidana Kurungan
|
Tindak Pidana (yang
diatur dalam KUHP)
|
Kejahatan
|
Pelanggaran dan
kejahatan tertentu yang daiatur dalam Pasal 114, 188, 191, 193, 195, 197,
199, 201, 359, 360, 481
|
Maksimum Pemidanaan
|
Seumur hidup
|
Paling lama 1tahun.
Jika ada pemberatan pidana paling lama 1 tahun 4bulan
|
Lokasi Pemidanaan
|
Dimana saja
|
Dalam daerah dimana
terpidana berdiam ketika putusan hakim dijalankan.
|
Perbedaan Lain
|
1. Tidak
memiliki hak pistole.
2. Wajib
menjalankan semua pekerjaan yang dibebankan kepadanya.
|
1. Memiliki
hak pistole.
2. Pekerjaan
yang diwajibkan lebih ringan.
|
Pengaturan
pidana penjara dalam KUHP dalam kaitan dengan kasus perzinahan diatur dalam
Pasal 287 yang menyebutkan :
1) Barang
siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya
atau sepatutnya harus diduganya bahwa umumya belum lima belas tahun, atau kalau
umurnya tidak jelas, bawa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.
2) Penuntutan
hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum sampai dua belas
tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal 294.
R.Soesilo
dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan lebih lanjut mengenai gendak/overspel atau yang disebut Soesilo
sebagai zinah adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan
yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau
suaminya. Untuk dapat dikenakan pasal ini, maka persetubuhan itu harus
dilakukan atas dasar suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu
pihak.
Oleh
karena hal tersebut, untuk dapat menuntut dengan menggunakan pasal ini, pihak
yang mengadukan harus dapat membuktikan bahwa memang telah terjadi adanya suatu
persetubuhan. Foto mesra yang diajukan dalam kasus ini tidak jelas apakah foto
tersebut hanya sekedar berpelukan atau berciuman atau memang foto sedang
melakukan persetubuhan. Apabila foto tersebut hanya foto berpelukan atau berciuman
dapat dianggap kurang membuktikan adanya perzinahan yang dilakukan istri dari
Bernaldi Kadir dan actor Zumi zola. Sehingga harus ada bukti-bukti lain untuk
memperkuat tuduhan Bernaldi Kadir agar Hakim yakin bahwa telah terjadi suatu
perzinahan.
2.2 Bagaimanakah pengaturan pidana
penjara dalam RUUKUHP dalam kaitan dengan kasus perzinahan?
Pengaturan pidana penjara dalam
RUUKUHP yang terbaru yakni tahun 2012
dalam kaitan dengan kasus perzinahan diatur dalam Pasal 483 yang menyebutkan :
1) Dipidana
karena zina, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun:
a. laki-laki
yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan
yang bukan istrinya;
b. perempuan
yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki
yang bukan suaminya;
c. laki-laki
yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan,
padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;
d. perempuan
yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki,
padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau
e. laki-laki
dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah
melakukan persetubuhan.
2) Tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali
atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar.
3) Terhadap
pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan Pasal 25,
Pasal 26, dan Pasal 28.
4) Pengaduan
dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.
Perbedaan
pengaturan pidana penjara dalam kaitannya dengan kasus dalam KUHP dan RUUKUHP
dapat dilihat dari table berikut:
Keterangan
|
KUHP
|
RUUKUHP Tahun
2012
|
Ancaman pidana
penjara
|
Maksimal 9
tahun
|
Maksimal 5
tahun
|
Pengaduan
|
Tidak
dijelaskan
|
Suami, istri,
atau pihak ketiga yang tercemar
|
Jenis
delik aduan
|
Delik
aduan absolut
|
Delik
aduan absolut
|
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Pidana
penjara merupakan salah satu jenis dari pidana pokok yang diatur dalam Pasal 10
KUHP. Yang dimaksud dengan pidana penjara adalah salah satu bentuk dari pidana
perampasan kemerdekaan. Pidana penjara atau hukuman penjara mulai dipergunakan
terhadap orang Indonesia berdasarkan ketentuan didalam Pasal 6 Undang-Undang
Nomer 1 Tahun 1964 namanya diubah menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
waktu mulai berlaku KUHP.
Pelaksanaan
pidana penjara di lembaga pemasyarakatan didasarkan atas prinsip-prinsip Sistem
Pemasyarakatan dengan tujuan agar terpidana setelah kembali kedalam masyarakat
dapat menjadi warga yang baik dan berguna sehingga terpidana tidak mengulangi
kembali perbuatannya. Tujuan pemidaan
yang di berlakukan di Indonesia adalah berdasarkan teori gabungan. Dimana,
penjatuhan pidana berupa penjara merupakan keadilan mutlak yang harus ada
sebagai wujud pembalasan, namun pembalasan tersebut haruslah didalamnya
mengandung hal-hal yang berguna bagi masyarakat dan terpidana.
Peraturan
perundang-undangan yang mengatur masalah lembaga pemasyarakatan di Indonesia
adalah Ordonasi tanggal 10 Desember 1917, Staatsblad tahun 1917 nomor 708, yang
juga dikenal dengan sebutan Gestichtenreglement.
Pengaturan
pidana penjara dalam KUHP dalam kaitan dengan kasus perzinahan diatur dalam
Pasal 287. Untuk dapat menuntut dengan menggunakan pasal ini, pihak yang
mengadukan harus dapat membuktikan bahwa memang telah terjadi adanya suatu
persetubuhan. Apabila bukti yang diajukan mampu meyakinkan hakim bahwa telah
terjadi suatu perzinahan maka terdakwa akan dijatuhi pidana penjara maksimal
9tahun.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar